Minggu, 03 April 2011

MODEL PERENCANAAN PERTUMBUHAN WILAYAH:ECONOMIC BASE Modul Kuliah

Sumber :

1. Soetriono, 2007, Ekonomi dan Kebijakan Agribisnis Tebu (Suatu Analisis Jawa Timur), Bayu Media, Malang

2. Wibowo, R dan J Januar. 1998. Teori Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jember: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember.


Salah satu tujuan dari kebijaksanaan pembangunan adalah mengurangi perbedaan dalam tingkat perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Konsep pembangunan tersebut seringkali disebut dengan konsep pembangunan regional atau wilayah. Dalam perencanaan pembangunan regional tersebut dikenal berbagai teknik analisis yang dapat menentukan pilihan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas pembangunan. Salah satu model perencanaan demikian dikenal dengan istilah Model Perencanaan Economic Base.

Landasan utama dari Model Perencanaan Sektoral Basis Ekonomi (Economic Base Model) merupakan konsep yang mengandalkan pada kriteria multiplier setiap kegiatan ekonomi tertentu yang pada gilirannya akan mempunyai dampak pertumbuhan ekonomi, seperti pendapatan maupun ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pendapatan regional atau wilayah akan meningkat dengan suatu tingkat multiplier tertentu, yang tergantung pada tingkat respending (pengeluaran kembali) pada wilayah yang bersangkutan.

Dalam model ini kita melihat bahwa sektor perekonomian terbagi atas dua sektor, yaitu : (1) Sektor Basis dan (2) Sektor Bukan Basis (non-Basic Sector). Sektor Non Basis terutama berfungsi di dalam pelayanan di dalam wilayah yang bersangkutan, sedangkan Sektor Basis terutama berorientasi kepada ekspor atau di luar wilayah yang bersangkutan, walaupunn Sektor basis tersebut pada dasarnya memproduksi barang dan jasa di dalam perekonomian untuk keperluan wilayah maupun luar wilayah. Dengan demikian sektor tersebut mendatangkan arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan. Peningkatan pendapatan wilayah pada gilirannya akan meningkatkan pula tingkat konsumsi wilayah maupun tingkat investasi wilayah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan wilayah dan kesempatan kerja.

Dalam pemahaman teori tersebut dapat dikatakan bahwa ekspor merupakan variabel utama yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kenaikan pendapatan yang diperoleh wilayah yang bersangkutan tidak hanya akan meningkatkan permintaan terhadap sektor basis semata-mata, akan tetapi juga akan meningkatkan permintaan hasil industri sektor bukan basis, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula investasi di sektor bukan basis tersebut. Dengan perkataan lain, penanaman modal di sektor lokal atau wilayah akan merupakan investasi yang di incuded sebagai akibat dari kenaikan pendapatan di sektor basis. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka landasan dari teori ini adalah bahwa sektor basis merupakan prioritas pengembangan dalam suatu wilayah.
Walaupun model ini merupakan penyederhanaan dari Model Input-Output, akan tetapi bagi wilayah-wilayah tertentu, terutama wilayah yang relatif kecil, model ini baik sekali untuk digunakan mengingat dasar-dasar yang praktis. Sangat sukar mengaplikasikan Input-Output untuk sesuatu wilayah yang sangat kecil, seperti misalnya wilayah perkotaan. Dalam keadaan demikian, maka penggunaan model ini dirasakan lebih bermanfaat.

Mengingat bahwa landasan utama pada model Economic Base ini adalah persoalan multiplier (dampak pengganda) dan pengklasifikasian sektor (apakah tergolong sektor basis atau sebaliknya), maka sebelum didiskusikan modelnya sendiri, maka lebih dahulu ingin diuraikan tentang persoalan multiplier (yang juga merupakan landasan dari model Input-Output pada Bab VI) dan berikutnya adalah klasifikasi sektoralnya. Analisis pengklasifikasian sektor tersebut dikenal dengan istilah analisis Loqation Quotient.

MULTIPLIER

Dari sesuatu kegiatan, sepertinya menjatuhkan batu ke air, maka berefek riak air yang makin jauh dari batu makin lemah. Ini disebut Multiplier.
Pengaruh Multiplier dari sesuatu kegiatan dibedakan menjadi tiga, yaitu:
(1) Direct multiplier (pengganda langsung)
(2) Indirect multiplier (pengganda tidak langsung)
(3) Induced multiplier (pengganda induced).

Suatu contoh yang dapat dikemukakan adalah tentang pendapatan. Misalnya produktivitas seseorang meningkat, maka peningkatan produktivitas tersebut akan berakibat kepada peningkatan penerimaan atau return yang diperoleh. Dalam teori makro ekonomi, bila seseorang menerima penghasilan atau pendapatan, maka pendapatan tersebut akan dipergunakan dalam kegiatan-kegiatannya yang meliputi (a) konsumsi, (b) tabungan (saving). Kedua variabel ini dalam teori ekonomi akan mempunyai dampak pengganda atau pengaruh multiplier.

Pertambahan pendapatan dari peningkatan produktivitas, sebagian dipergunakan untuk konsumsi yang mengakibatkan pertambahan sufisiensi atau kesejahteraan. Kecenderungan konsumsi yang meningkat adalah karena adanya sebagian pertambahan pendapatan tersebut dipergunakan untuk tambahan konsumsinya. Konsumsi dalam bentuk produktif adalah investasi. Pertambahan investasi akan meningkatkan produksi dan produktivitas yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan permintaan akan masukan, yang akhirnya akan mendorong peningkatan harga. Peningkatan harga ini akan menyebabkan intensifikasi produksi dan pertambahan permintaan akan masukan-masukan produktif. Demikian pengaruh dari sesuatu kegiatan akan merupakan rangkaian pengaruh kepada kegiatan-kegiatan lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan pada gilirannya akan berpengaruh kepada kegiatan semula. Konsep inilah yang disebut dengan multiplier.

Satu hal yang jelas, makin panjang/jauh rantai multiplier tersebut, akan makin lebih lemah pengaruhnya. Dengan perkataan lain, contoh peningkatan pendapatan tersebut memberi pengaruh ‘feed back’ untuk meningkatkan lagi pendapatannya pada waktu berikutnya.



KLASIFIKASI SEKTOR : ANALISIS LOCATION QUOTIENT


Penggolongann atau pengklasifikasian sektor-sektor dalam sesuatu wilayah ke dalam sektor basis atau sektor bukan basis dapat dilakukan dengan suatu analisis yang dikenal dengan nama Analisis Location Quotient LQ. Analisis ini pada dasarnya merupakan prosedur untuk mengukur konsentrasi dari sesuatu kegiatan atau industri di suatu wilayah dengan cara membandingkan peranannya dalam perekonomian wilayah tersebut dengan peranan kegiatan atau industri tersebut dalam perekonomian nasional.

Location Cuotient Agroindustri Tekstil di Daerah Situbondo


Dengan demikian, rumus umum dari Location Quotient adalah:

dimana :
LQs adalah loqationt quotient dari sektor S pada suatu wilayah
vi adalah dasar ukur (misalnya pendapatan) dari sektor s di wilayah
vt adalah dasar ukur total dari wilayah
Vi adalah dasar ukur (misalnya pendapatan) dari sektor s di seluruh sistem perekonomian
Vt dasar ukur total pada seluruh sistem perekonomian.

Pada hakekatnya rumus LQ tersebut didasarkan pada asumsi :
(a)bahwa penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sesuai dengan pola permintaan tingkat nasional.
(b)bahwa permintaan daerah akan sesuatu barang pertama-tama dipenuhi dengan hasil daerah itu sendiri dan jika jumlah yang diminta melebihi jumlah produksi daerah ini, baru kekurangannya diimpor dari luar daerah tersebut.

Berdasarkan asumsi ini, maka jika baik seluruh Indonesia maupun daerah A dapat memenuhi kebutuhannya akan sesuatu barang dengan produksi sendiri, atau dengan perkataan lain, baik seluruh Indonesia maupun daerah A adalah swasembada dalam barang tersebut, maka arti relatif daripada industri yang menghasilkan barang tersebut dalam perekonomian daerah A adalah sama dengan arti relatif industri tersebut dalam perekonomian nasional. Dalam hal ini location quotient industri tersebut adalah satu (=1). Bila location quotient adalah kurang dari satu (<1), maka daerah tersebut harus mengimpor hasil produksi industri tersebut, sedangkan bila location quotient lebih besar dari satu(>1), maka dapat dianggap bahwa wilayah yang bersangkutan dapat mengekspor hasil produksi industri tersebut. Location Quotient terbesar 1.5 dapat diartikan bahwa 2/3 bagian dari hasil industri tersebut dipergunakan untuk memenuhi konsumsi wilayah sendiri, sementara 1/3 bagian lainnya merupakan hasil industri dapat diekspor.

AZAS SPESIALISASI DAN LOKALISASI (SOETRIONO, 1996:18) :

a) Koefisien Lokalisasi, digunakan untuk mengukur penyebaran (konsentrasi) relatif kegiatan pertanian di suatu wilayah dengan rumus :

b) Koefisien spesialisasi, digunakan untuk melihat spesialisasi wilayah terhadap jenis pertanian tertentu.

PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN DAERAH DIDEKATI DENGAN BASIC SERVICE RATIO (BSR) REGIONAL MULTIPLIER (RM)

BSR = Jumlah Sektor Basis/Jumlah Sektor Non Basis
RM = {Jumlah sektor basis + Jumlah sektor non basis} / Jumlah sektor basis; atau
= 1 + (1/BSR)

analisis kontribusi
%K = (Pth/Pek) x 100 %

Dimana :
•% K = prosentase pendapatan Komoditas Hortikultura terhadap pendapatan perekonomian Daerah Tingkat I Jawa Timur,
•Pth = pendapatan Komoditas Hortikultura Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur,
•Pek = pendapatan perekonomian Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

LANDASAN ANALISIS BASIS EKONOMI
Menurut skenario model ini, pertambahan pendapatan akan dialirkan melalui sistem multiplikasi keseluruh perekonomian karena transaksi yang tidak dipaksakan, yaitu terjadinya ‘respending’.
Menurut teori ini, pertambahan Regional Income dipengaruhi sangat kuat dari sektor Basis. Jadi Total Incomenya adalah :

Dengan demikian, semakin tinggi jumlah rounding dari siklus di atas, maka akan semakin makin besar Y yang dihasilkan.
Analisis Jangka Pendek
Model Basis Ekonomi berasumsi bahwa terdapat dua sektor di dalam perekonomian, yaitu sektor basis dan sektor bukan basis, sehingga pendapatan total wilayah akan sama dengan pendapatan dari kedua sektor tersebut, atau
Y = YN + YB
Dalam analisis yang sifatnya jangka pendek, maka proporsi respending ( r ) dapat didekati dengan rumus sebagai berikut :



Menurut Tiebout, untuk analisis jangka pendek, dapat dibuktikan secara empiris bahwa setelah t > 2 tahun tidak akurat lagi, karena adanya investasi pada wilayah yang bersangkutan yang akan mempengaruhi perilaku ekonomi wilayah secara keseluruhan. Oleh karenanya, maka keadaan semacam ini, maka perencanaan yang seyogyanya dilaku

kan adalah dengan pola analisis yang memperhitungkan faktor investasi pada wilayah yang bersangkutan.

Analisis Jangka Panjang
Dalam Long-Run Analysis perlu adanya Propensity to Invest Locally (PIL), dimana:
PIL tersebut pada dasarnya merupakan persentase pendapatan yang diinvestasikan pada wilayah yang bersangkutan (lokal), tetapi bukan merupakan keseluruhan investasi yang ada, karena terdapat variabel impor. Dengan demikian sebenarnya ada ‘Leakage’ atau kebocoran wilayah, yaitu Local Spending For Import (LSI), sebesar :

maka pengganda jangka panjang atau long run multiplier (ML) adalah sebesar :

Dengan demikian pertambahan pendapatan wilayah dalam jangka panjang akan dapat dihitung dengan formula :

Keterbatasan Model Economic Base

(1)Model tersebut hanya merupakan gambaran yang kasar, karena hanya memusatkan perekonomian dalam dua sektor. Sebaliknya model tersebut mempunyai sifat yang lebih pragmatis karena kesederhanaannya, baik dalam sistem data maupun sistem analisisnya.

(2)“Propensity” dalam konsep ini merupakan “approximation” atau perkiraan dari nilai total data yang ada, dan bukan merupakan konsep marginal sebagaimana umumnya diperoleh dalam analisis ekonomi makro.

(3)Bagi wilayah-wilayah yang perekonomiannya menunjukkan kecenderungan pertumbuhannya yang cepat, maka rasio dari (YN/YB) tidak lagi konstan, sehingga model tersebut akan sangat restriktif terhadap persoalan waktu.

(4)Bagi suatu wilayah atau region yang relatif besar, maka ekspor bukan lagi merupakan peubah atau variabel yang memegang peranan yang terlampau penting bagi pertumbuhan perekonomian di wilayah yang bersangkutan. Hal ini karena pada wilayah-wilayah yang relatif luas tersebut akan memungkinkan terjadinya diversifikasi sumberdaya dalam intensitas yang cukup tinggi.

Contoh penggunaan Model Sederhana

Jika diketahui : CL = Rp 250000,-
YN = Rp 200000,-
YB = Rp 150000,-
YI = Rp 30000,-
I = Rp 20000,-

Dihitung : ML dan MS

Nilai tersebut memberi pengertian bahwa peningkatan ekspor Rp 1,- akan menyebabkan pendapatan meningkat sekitar Rp 2.33 – Rp 1,- atau sekitar Rp 1.33 untuk masa yang telah ditentukan dalam analisis.

ML > MS atau multiplier jangka panjang lebih besar dari multiplier jangka pendek, disebabkan karena ada investasi yang diperhitungkan.