Rabu, 23 Oktober 2013

pengantar





POKOK-POKOK BAHASAN MATA KULIAH  FILSAFAT ILMU

Pembina/Pen.Jawab                 :               Prof. Dr. Kabul Santoso, MS
Aggota Tim Pengajar                :                Prof. Dr. Ir Soetriono, MP
Jadwal Kuliah                               :               Sabtu :  Jam 08.00 – 10.30,       
                                                                             Tempat di Ruang   Pascasarjana UNEJ
Catatan                                           :               Tidak ada UTS, akan tetapi dilaksanakan tugas-tugas mingguan (Assignment).
 Literatur                                          :                         Posmodernisme (Bambang Sugiarto); Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Soetriono dan Hanafie) ;  Epistomologi Pemecahan Masalah (Karl R Popper); Kritik Ideologi (Frans Magnis – Suseno)

KULIAH
POKOK BAHASAN MATA KULIAH
DOSEN
TUGAS MINGGUAN


1, 2

PENDAHULUAN KULIAH                                                
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
Self yang Dapat Membentuk Ilmu Pengetahuan Holistik
Manusia dan Kehidupannya
Self (Diri) dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan yang Holistik

Self dan Ilmu Pengetahuan



Soetriono

Paper dalam rangka mencari Ilmu Pengetahuan Yang Benar (6 halaman)

3, 4


PRADIGMA-PARADIKMA FILSAFAT
Perbedaan Paradigma Modernisme dan Postmodernisme
Paradigma Interpretif
Teori Kritik
Paradigma Kritikal
Paradigma Humanis Radikal
Paradigma Strukturalis Radikal


Soetriono

Assigment  perbedaan paradigma (4 halaman)

5, 6

 

BERFILSAFAT DAN BERPIKIR FILSATI

Berfilsafat

Karakteristik Berpikir Filsafati : Sifat Menyeluruh, Sifat Mendasar dan Sifat Spekulatif
Hubungan Antara Filsafat dengan Kebudayaan dan Lingkungan
Guna Filsafat
Fungsi Filsafat
Persoalan Filsafat

Soetriono

Assigment  perbedaan  berfikir filsafat i dan berfilsafat (4 halaman)

6, 8

 

FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI PENELITIAN

The Quest For Knowledge
The Knower, Nalar dan Knowledge
Nalar atau Berfikir
Filsafat Dalam Masa Patristik dan Abad  Pertengahan
Filsafat Kuno
Filsafat Modern
Neo-Kantian dan Phenomenalism
Pragmatisme
Knowledge

Soetriono
Assigment  pola pikir filsafat dan metodologi penelitian (4 halaman)

9

 

PERKEMBANGAN PENGETAHUAN DAN MORAL

Perkembangan Pengetahuan
Intelectual Activity
Inductivism
Logica dan Deductive Reasoning
Masalah Dalam Inductivism
Masalah Nilai dan Moral

Falsificationism



Kabul Santoso


10

METODE PENELITIAN SEBAGAI METODE ILMIAH
Metode Ilmiah
Metode Penelitian
Teknik Penelitian
Berpikir Induktif dan Deduktif


Kabul Santoso


11, 12

MEMBEDAH”  EPISTOMOLOGI PEMECAHAN MASALAH
“Karl R Popper”



Assigment, yang didiskusikan

13

KRITIK IDEOLOGI  (Pemisahan Pengetahuan dari kepentingan)
Lahirnya Ontologi
Pemurniaan pengetahuan dari kepetingan (Filsafat modern)
Ilmu pengetahuan dan puncak pemurnian (Positivisme)


Kabul Santoso


14

KRITIK IDEOLOGI DAN KRITIK ILMU PENGETAHUAN

Kabul Santoso


15

POSMODERNISME
Posmodernisme dalam Konteks Filsafat
Berakhirnya filsafat
Rasionalistas dan pluralisme
Tumbangnya epistomologi
Metafor dam imajinasi

Kabul Santoso

16
UHS






Ilmu Pengetahuan Yang Benar 

Oleh : Soetriono


Manusia dalam menjalani kehidupan mempunyai tujuan  yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya, inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi mahkluk yang bersifat khas di muka bumi ini sehingga mampu berfikir dan menalar.
Dorongan berfikir dan menalar dapat ditimbulkan dari diri manusia yang sehat baik rohani maupun jasmani.  Setiap diri manusia terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif. Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh keluarga dan  sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Namun pengaruh positif dan negatif dapat diatasi apabila manusia (individu) mau menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
Menurut Rogers (1974), apabila tanggung jawab di atas diterima, maka akan segera melihat kalau saja represei dan tekanan sesamanya yang meliputi keseluruhan dunia dapat dicegah  akan muncul seorang pribadi baru yang penuh kesadaran, mengarahkan dirinya sendiri, seorang penjelajah dunia batin lebih dari pada dunia luar, yang memandang rendah sikap serta tunduk pada kebiasaan-kebiasaan dan dogma tentang otoritas.
Manusia mampu menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar dan  mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran yang abstrak (Berger dan Luckmann, 1967), maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkan. Ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berfikir lainnya, dengan perasaan dan intuisi (Suriasumantri, 1993). Ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh lewat wahyu. Induksi dan deduksi merupakan inti penalaran logika empiris. Kegiatan berfikir ilmiah ini menggunakan baik teori koherensi maupun teori korespondensi dalam menetapkan kebenaran ilmu pengetahuan.
            Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder (1955), dimulai ketika mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa manusia mulai mengawasi sesuatu? Kalau ditelaah lebih lanjut ternyata, bahwa kita mulai mengawasi obyek tertentu. Bila kita mempunyai perhatian khusus terhadap obyek tersebut yang oleh John Dewey dalam Suriasumantri (1993) dinamakan sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan ini timbul disebabkan oleh kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dapat disimpulkan, bahwa karena ada masalah proses kegiatan berfikir mulai dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris dan secara manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.

Ilmu Pengetahuan yang Holistik

Pengetahuan merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukan kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Menurut Rapar (1996), ilmu pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada ilmu pengetahuan. Jika ada subyek pasti ada pula obyek, yakni sesuatu yang ihwalnya kita ketahui atau hendak kita ketahui, tanpa obyek, tidak mungkin ada ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan bertauatan erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah ilmu pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang diketahui senantiasa memiliki begitu banyak yang akan diungkap secara serentak. Kenyataannya manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari obyek yang dilihat, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa amat sulit untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan. Lebih lanjut Rapar mengatakan bahwa, ilmu pengetahuan dapat dipilah menjadi tiga jenis  antara lain :
a.       pengetahuan biasa ini terbagi menjadi dua pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah;
b.      pengetahuan ilmiah yang diperoleh melalui penggunaan metode ilmiah ; dan
c.       pengetahuan filsafati yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis dan pemikiran yang logis, analistis dan sistematis.
Melihat uraian di atas maka ilmu pengetahuan yang holistik  merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari, bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Prosedur untuk mendapat ilmu ialah yang disebutkan dengan motode keilmuan, yang langkah-langkahnya misalkan, perumusahan masalah, penyusunan kerangka berfikir, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan. Metode ilmiah yang merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah (Suriasumantri, 1993).
Seperti diketahui, berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran dengan cara bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yakni sifat rasional yang teruji. Tubuh pengahuan yang tersusun merupakan ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara-cara berfikir deduktif dan cara induktif dalam membangun tubuh ilmu pengetahuan.
Karena masalah yang dihadapi nyata, maka ilmu pengetahuan mencari jawabannya pada dunia nyata pula. Ilmu pengetahuan yang menilai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun teori yang menjembataninya antara keduanya. Teori yang dimaksudkan  didunia fisik tersebut, tetapi merupakan abstraksi intelektual yang pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, disinilah pendekatan rasional digabungkan degan pendekatan empiris dalam langkah-langlah yang disebut metode ilmiah. Secara sederhana hal ini berarti, bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi syarat utama, yakni :
·         Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan
·         Harus sesuai dengan fakta-faka empiris sebab, teori bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara logika induktif, yang rasionalisme dan empiris hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
Ilmu pengetahuan yang bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini belum satupun dari seluruh disiplin  keilmuan yang telah berhasil menyusun teori yang konsisten dan menyeluruh. Teori-teori masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai dengan sikap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikan pula dengan jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan kebenaran yang sekarang diterima secara ilmiah akan benar pula dimasa akan datang. Sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakekat ilmu pengetahuan. Sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan adalah sesuai dengan perkembangan peradapan manusia yang telah terbukti secara nyata peranan ilmu pengetahuan  dalam membangun peradapan tersebut.
Demikian yang telah terlihat berbagai keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan, namun demikian kekurangan bukan alasan untuk eksistensi ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita. Mereka yang bersungguh-sungguh berilmu adalah yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu pengetahuan. Dasar itulah merupakan alasan diterima ilmu pengetahuan sebagaimana adanya, mencintai dengan bijaksana serta menjadikan bagian dari kepribadian dan kehidupannya ha inilah yang ddapat dinamakan ilmu pengetahuan yang holistik. Tanpa kesadaran itu, maka kita hanya kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan seperti yang disyairkan oleh Bryon dan Monfred dalam Suriasumantri, 1993, bahwa ilmu pengetahuan tidak membawa kebahagiaan dan ilmu pengetahuan sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.
Apabila manusia ingin tahu apa yang hendak diketahuinya atau dengan kata lain apa obyek tahu itu, sebelum ia tahu ia kagum atas hal yang ada disekelilingnya, hal itu dapat dikatakan merangsang dia lalu menimbulkan keinginan untuk tahu. Adapun yang mengelilingi dia adalah dunia seisinya yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, asal ada. Bahkan sekarang ini tidak ada akan tetapi tidak mengandung kemustahilan jadi mungkin ada itupun ingin diketahui. Menurut Popper, 1989, untuk mengetahui keingintahuannya maka manusia pertama-tama menggunakan pancainderanya, indera inilah yang pertama-tama bersentuhan dengan alam. Dalam hal ini manusia tidak pasif ia mengadakan reaksi. Reaksi dari pihak manusia adalah tahu dan dicetuskan dengan putusan. Dengan demikian harus dikatakan, bahwa pengalaman semata-mata bukanlah pengetahuan yang sebenarnya, melainkan hanya memungkinkan pengetahuan. Pengetahauan sebenarnya baru ada, jika manusia demi pengalamannya mengadakan putusan atas obyeknya.
            Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan jadi pengatahuan tidak lain dari hasil tahu. Dalam pengetahuan ada pengakuan sesuatu terhadap sesuatu. Ada dua sesuatu dalam putusan, sehingga putusan selalu ada bagiannya yaitu yang menjadi dasar pengakuan dan diakui terhadap dasar itu. Dasar pengakuan itu disebut subyek dan diakui terhadap subyek itu namanya predikat. Sebagai contoh segitiga itu lancip, hanya berlaku pada segitiga yang satu itu, lain halnya “segitiga itu jumlah sudutnya 180 derajad”. Berlaku untuk segitiga manakah segitiga itu ? Bukan untuk segitiga tertentu melainkan untuk semua segitiga. Ternyata sifat keputusan di atas tentang segitiga berbeda. Putusan segitiga itu lancip adalah khusus, sedangkan putusan segitiga jumlah sudutnya 180 derajad adalah bersifat menyeluruh. Oleh karena kedua macam putusan itu mengutarakan ilmu pengetahuan.

Self dan Ilmu Pengetahuan
            Tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan indsutrialisasi ialah adanya pengembangan kemampuan intelektual sehingga memiliki kemampuan dialogis dan fungsional terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Menurut Syukur (1999) secara epistomologi tasawuf memakai metode intuitif, yang pada abad ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari rasionalisme dan empirisme dan membantunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai hal.
            Intuisi merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki watak tinggi daripada pengetahuan indera atau akal. Diakuai bahwa arah intuisi itu berbeda, karena akal maupun indera merupakan intsrumen yang lebih berkompeten untuk menghadapi obyek-obyek materi serta hubungan-hubungan kuantitatif.
            Sementara itu intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran diri manusia dapat menuntun pada kehidupan (immateri). Bahkan jika intuisi dapat meluas dan mendominasi manusia, ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang vital yang oleh Bergson disebut elan vital, yaitu dorongan rohani dari dalam dan langsung (Titus dalam Syukur, 1999)
            Apabila dilihat dari self dan ilmu pengetahuan yang holistik David Truebood menjelaskan, bahwa paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan ini menyeluruh dan dapat diterima antara lain : pertama moralitas subyek, maksudnya karena ilmu pengetahuan  dapat dikatagorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak setiap dapat mengikuti penyelidikannya secara tuntas.
            Kedua, akal sehat, artinya untuk menilai kevalitan ilmu pengetahuan pada seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, adakah fakta-fakta pengetahuan itu dapat dinalar atau tidak. Sebab pada akhirnya kita harus kembali pada akal, karena akal merupakan hakim terakhir.
            Ketiga, keahlian diri sebagai subyek secara tepat. Mengingat pengetahuan bukan merupakan pengetahuan pada umumnya, maka untuk menilai secara menyeluruh dan tingkat kebenarannya harus melihat pada subyek penerima/ menjalankannya, adakah ia memilikki keahlian dan berkompeten pada disiplin pengetahuan itu atau tidak.  Lebih lanjut, bahwa ilmu pengetahuan  yang baik adalah keluar dari intuisi orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan berkecimpung dalam bidang tertentu. Sebab fungsi metodologi maupun sistematikanya berpikir yang berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita agar bekerja setelah pikiran dihadapkan pada obyeknya, melainkan untuk mempertajam pikiran kita sebelum memulai penyelidikan.
            Kondisi tersebut ditinjau dari aspek manusianya (self) maka penalaran dan intuisi merupakan suatu kesadaran yang tinggi dalam self (diri). Menurut Hossein Nasr (1997), bahwa manusia “suci” sadar akan peranannya sebagai perantara antara surga dan bumi dan entelechy-nya seperti melebihi wilayah teresterialnya, yang membuat senantiasa sadar akan kefanaan perjalanannya di bumi. Manusia seperti hidup dalam kesadaran realitas spiritual yang mentransendensikannya dan yang belum pernah ada selain dari pada realitas batinnya sendiri melawan terhadap apa yang tidak bisa dilawan, sehingga manusia hidup diresapkan pada makna pada alam semesta.
Apabila dilihat dari realita bahwa  ilmu  pengetahuan  mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia berpendapat, bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang mengusai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ini, maka manusia (self) mulai mengambil jarak dari obyek sekitar, tidak seperti yang terjadi dalam dunia mistis, yang semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya. Self mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi self sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, maka self memulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan self dapat mengenal wujud masalah itu, untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.
            Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan (intuisi) melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu pengetahuan mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat dia mengerti mengenai hakikat permasalahan yang dihadapinya dengan demikian, maka dia dapat memecahkannya. Dalam hal ini, pertama-tama ilmu pengetahuan menyadari, bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yang terdapat dalam dunia nyata. Sehingga secara ilmu pengetahuan masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. (Suriasumantri, 1993). Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dengan agama. Agama berbeda dengan ilmu pengetahuan, mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada diluar pengalaman self, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi sebagaimana manusia diciptakan maupun sesudah kematian manusia, seperti yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaaan antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan perbedaan metode ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu pengetahuan dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini, maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal dengan mengusai hakekat ilmu pengetahuan  dan agama secara baik, akan memungkinkan ilmu pengetahuan lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justru saling melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberikan landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan dipihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama.
Apabila ditinjau lebih jauh bahwa ilmu pengetahuan, sesuai dengan obyek yang dilihat, adalah kenyataan/reality. Kenyataan/reality menunjukan kepada sesuatu yang lebih luas tidak dari sekedar ada/real. Ilmu pengetahuan  yang hololistik merupakan ilmu pengetahuan menyeluruh dan mempunyai paradigma tertentu, yang merupakan ilmu pengetahuan yang harus menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, bagaimana seharusnya menjawab serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang dikumpulkan untuk menjawab persoalan tersebut.  
Al Ghazali, menginterprestasikan Al Qur’an tentang nafsu ammarah, nafsu lawwanah dan nafsu mutmainah, ketiga nafsu tersebut dihubungkan dengan kesadaran, sehingga terdapatlah “kesadaran iderawi” (ammarah) yang terendah, “kesadaran akali” (lawwanah) yang pertengahan dan “kesadaran rohani” (mutmainah) yang tertinggi. Selain itu Nataatmadja menarik implikasi dari  teori Al Ghozali dan pada kesimpulan bahwa rasa lebih unggul dari pada rasio. Inipun bila di pandang dari sudut kaca mata ilmu pengetahuan holistik  bahwa kesadaran inderawi dan kesadaran akali merupakan suatu kenyataan yang realita memang ada. Seperti halnya  yang dikemukakan oleh Plato, bahwa dunia jasmani (iderawi) hanya berdiri atau berada    sebagai realitas dan sejauh dunia ini merupakan partisipasi dunia rohani. Plato menganggap bahwa dunia atau dunia idea merupakan realitas sejati atau dalam bahsa Yunani “Ontoos on” artinya sunguh-sungguh ada. Dunia jasmani itu sebenarnya hanyalah semu atau bayang-baynag realitas sesungguhnya.
Perpaduan antara inderawi dan idea dalam konsep yang ada dapat menimbulkan tiga kemungkinan utama yakni :
·         Daya intelektual yang merupakan daya tertinggi manusia dapat berfungsi maksimal dan mampu mengendalikan dua kesadaran lainnya, ini merupakan manusia Muslim yang disebut al-nafs al-mutma’innah (QS. Al-Fajr ayat 28-30)
·         Daya intelektual manusia mampu mengontrol dua kesadaran lainnya dan terkadang sebaliknya, ini yang disebut manusia labil yang disebut al-nafs al-lawaamah yang ditempati oleh kebanyakan manusia (al-Qiyamah ayat 2)
·         Daya intelektual manusia selalu dikalahkan oleh dua daya lainnya, inilah sejelek-jelek manusia yang disebut al-nafs al-ammarah bi al-su Al-Quran Surat Yusup ayat 53. Bahkan manusia ini lebih buruk dari pada hewan (QS. Al-Furqon, ayat 44)
Hubungannya dengan pembentukan ilmu pengetahuan holistik perbuatan manusia secara nyata merupakan hasil pemikiran secara reality antara kesadaran inderawi dan akali menjadi satu kesatuan yang seimbang sehingga manusia yang memikirkan tersebut termasuk al-nafs al-mutma’innah. Lebih lanjut suatu pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman self, maka pembatasan adalah perlu. Pembatasan ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajiam keilmuan. Pembatasan harus dapat operasional dan merupakan pengkajian teoritis. Kedua pembatasan tersebut dapat disimpulkan “ keadaan sebagaimana adanya’ bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Keadaan sebagaimana adanya adalah pembatasan yang mendasari telaahan ilmiah, dan bagaimana keadaan yang seharusnya adalah asumsi yang mendasari telaahan moral. Uraian tersebut membawa kepada implikasi kepada ilmu pengetahuan holistik yang memberikan pembatasan terhadapnya yaitu mengenai perilaku yang dipancarkan oleh self sebagai subyek tersebut.

Simpulan
            Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self yang dapat membentuk Ilmu Pengetahuan yang Holistik adalah self yang dapat mengontrol dan menaklukkan nafsu al-ammarah sehingga tidak menjadi liar dan terkendali, hal ini berkaitan dengan kebenaran secara keseluruhan dengan universal yang dapat diperoleh secara intuitif melalui akal dan realita.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar