POKOK-POKOK BAHASAN MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
Pembina/Pen.Jawab : Prof. Dr. Kabul Santoso, MS
Aggota
Tim Pengajar : Prof. Dr. Ir Soetriono, MP
Jadwal
Kuliah : Sabtu : Jam 08.00 – 10.30,
Tempat di Ruang Pascasarjana UNEJ
Catatan :
Tidak ada UTS, akan tetapi
dilaksanakan tugas-tugas mingguan (Assignment).
Literatur : Posmodernisme
(Bambang Sugiarto); Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Soetriono dan
Hanafie) ; Epistomologi Pemecahan Masalah
(Karl R Popper); Kritik Ideologi (Frans Magnis – Suseno)
KULIAH
|
POKOK BAHASAN MATA KULIAH
|
DOSEN
|
TUGAS MINGGUAN
|
1,
2
|
PENDAHULUAN
KULIAH
Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian
Self yang Dapat Membentuk Ilmu Pengetahuan Holistik
Manusia dan Kehidupannya
Self (Diri) dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan yang Holistik
Self dan Ilmu Pengetahuan
|
Soetriono
|
Paper dalam rangka mencari Ilmu Pengetahuan Yang Benar
(6 halaman)
|
3,
4
|
PRADIGMA-PARADIKMA FILSAFAT
Perbedaan Paradigma Modernisme dan Postmodernisme
Paradigma Interpretif
Teori Kritik
Paradigma Kritikal
Paradigma Humanis Radikal
Paradigma Strukturalis Radikal
|
Soetriono
|
Assigment
perbedaan paradigma (4 halaman)
|
5,
6
|
BERFILSAFAT DAN BERPIKIR FILSATI
Berfilsafat
Karakteristik Berpikir
Filsafati : Sifat Menyeluruh, Sifat
Mendasar dan Sifat Spekulatif
Hubungan Antara Filsafat
dengan Kebudayaan dan Lingkungan
Guna Filsafat
Fungsi Filsafat
Persoalan Filsafat
|
Soetriono
|
Assigment perbedaan
berfikir filsafat i dan berfilsafat (4 halaman)
|
6, 8
|
FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI
PENELITIAN
The Quest For Knowledge
The Knower, Nalar dan Knowledge
Nalar atau Berfikir
Filsafat Dalam Masa Patristik
dan Abad Pertengahan
Filsafat Kuno
Filsafat Modern
Neo-Kantian dan
Phenomenalism
Pragmatisme
Knowledge
|
Soetriono
|
Assigment pola pikir filsafat dan metodologi
penelitian (4 halaman)
|
9
|
PERKEMBANGAN
PENGETAHUAN DAN MORAL
Perkembangan Pengetahuan
Intelectual Activity
Inductivism
Logica dan Deductive
Reasoning
Masalah Dalam Inductivism
Masalah Nilai dan Moral
Falsificationism
|
Kabul
Santoso
|
|
10
|
METODE PENELITIAN SEBAGAI METODE ILMIAH
Metode Ilmiah
Metode Penelitian
Teknik Penelitian
Berpikir
Induktif dan Deduktif
|
Kabul
Santoso
|
|
11, 12
|
“MEMBEDAH” EPISTOMOLOGI
PEMECAHAN MASALAH
“Karl R
Popper”
|
Assigment, yang didiskusikan
|
|
13
|
KRITIK IDEOLOGI (Pemisahan Pengetahuan dari kepentingan)
Lahirnya Ontologi
Pemurniaan pengetahuan dari kepetingan (Filsafat
modern)
Ilmu pengetahuan dan puncak pemurnian
(Positivisme)
|
Kabul
Santoso
|
|
14
|
KRITIK IDEOLOGI DAN KRITIK ILMU PENGETAHUAN
|
Kabul
Santoso
|
|
15
|
POSMODERNISME
Posmodernisme dalam Konteks Filsafat
Berakhirnya filsafat
Rasionalistas dan pluralisme
Tumbangnya epistomologi
Metafor dam imajinasi
|
Kabul
Santoso
|
|
16
|
UHS
|
Ilmu Pengetahuan Yang Benar
Oleh : Soetriono
Manusia dalam
menjalani kehidupan mempunyai tujuan
yang lebih tinggi dari sekedar kehidupannya, inilah yang menyebabkan
manusia mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi mahkluk
yang bersifat khas di muka bumi ini sehingga mampu berfikir dan menalar.
Dorongan
berfikir dan menalar dapat ditimbulkan dari diri manusia yang sehat baik rohani
maupun jasmani. Setiap diri manusia
terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.
Kegagalan dalam mewujudkan potensi-potensi ini disebabkan oleh pengaruh yang
bersifat menjerat dan keliru dari latihan yang diberikan oleh keluarga dan sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Namun pengaruh positif dan negatif dapat diatasi apabila manusia (individu) mau
menerima tanggung jawab untuk hidupnya sendiri.
Menurut Rogers
(1974), apabila tanggung jawab di atas diterima, maka akan segera melihat kalau
saja represei dan tekanan sesamanya yang meliputi keseluruhan dunia dapat
dicegah akan muncul seorang pribadi baru
yang penuh kesadaran, mengarahkan dirinya sendiri, seorang penjelajah dunia
batin lebih dari pada dunia luar, yang memandang rendah sikap serta tunduk pada
kebiasaan-kebiasaan dan dogma tentang otoritas.
Manusia mampu
menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis, karena kemampuan menalar
dan mempunyai bahasa untuk
mengkomunikasikan hasil pemikiran yang abstrak (Berger dan Luckmann, 1967),
maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu
mengembangkan. Ilmu pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan
penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berfikir lainnya, dengan perasaan dan
intuisi (Suriasumantri, 1993). Ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh lewat
wahyu. Induksi dan deduksi merupakan inti penalaran logika empiris. Kegiatan
berfikir ilmiah ini menggunakan baik teori koherensi maupun teori korespondensi
dalam menetapkan kebenaran ilmu pengetahuan.
Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder (1955),
dimulai ketika mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada
pertanyaan lain : mengapa manusia mulai mengawasi sesuatu? Kalau ditelaah lebih
lanjut ternyata, bahwa kita mulai mengawasi obyek tertentu. Bila kita mempunyai
perhatian khusus terhadap obyek tersebut yang oleh John Dewey dalam
Suriasumantri (1993) dinamakan sebagai suatu masalah atau kesukaran yang
dirasakan bila menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan
pertanyaan. Pertanyaan ini timbul disebabkan oleh kontak manusia dengan dunia
empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dapat disimpulkan, bahwa
karena ada masalah proses kegiatan berfikir mulai dan karena masalah ini
berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir tersebut diarahkan pada
pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris dan
secara manusia mendapatkan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber sebagai
jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi.
Ilmu Pengetahuan yang Holistik
Pengetahuan merupakan suatu kata
yang digunakan untuk menunjukan kepada apa yang diketahui oleh seseorang
tentang sesuatu. Menurut Rapar (1996), ilmu pengetahuan senantiasa memiliki
subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin
ada ilmu pengetahuan. Jika ada subyek pasti ada pula obyek, yakni sesuatu yang
ihwalnya kita ketahui atau hendak kita ketahui, tanpa obyek, tidak mungkin ada
ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan bertauatan erat
dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah ilmu pengetahuan itu eksis.
Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian
pengetahuan dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang diketahui
senantiasa memiliki begitu banyak yang akan diungkap secara serentak.
Kenyataannya manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari obyek yang dilihat,
sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa
amat sulit untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi
mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan. Lebih lanjut Rapar mengatakan bahwa, ilmu pengetahuan dapat
dipilah menjadi tiga jenis antara lain :
a.
pengetahuan biasa ini terbagi
menjadi dua pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah;
b.
pengetahuan ilmiah yang
diperoleh melalui penggunaan metode ilmiah ; dan
c.
pengetahuan filsafati yang
diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran,
spekulasi, penilaian kritis dan pemikiran yang logis, analistis dan sistematis.
Melihat uraian di atas maka ilmu
pengetahuan yang holistik merupakan
kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah
teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari, bahwa proses pembuktian
dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Prosedur untuk mendapat ilmu ialah yang
disebutkan dengan motode keilmuan, yang langkah-langkahnya misalkan,
perumusahan masalah, penyusunan kerangka berfikir, pengajuan hipotesis,
pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan. Metode ilmiah yang merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah (Suriasumantri, 1993).
Seperti
diketahui, berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran dengan cara
bekerja ini, maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai
karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yakni sifat
rasional yang teruji. Tubuh pengahuan yang tersusun merupakan ilmu pengetahuan
yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, maka metode ilmiah mencoba menggabungkan
cara-cara berfikir deduktif dan cara induktif dalam membangun tubuh ilmu
pengetahuan.
Karena masalah
yang dihadapi nyata, maka ilmu pengetahuan mencari jawabannya pada dunia nyata
pula. Ilmu pengetahuan yang menilai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta,
apapun teori yang menjembataninya antara keduanya. Teori yang dimaksudkan didunia fisik tersebut, tetapi merupakan
abstraksi intelektual yang pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris, disinilah pendekatan rasional digabungkan degan pendekatan
empiris dalam langkah-langlah yang disebut metode ilmiah. Secara sederhana hal
ini berarti, bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi syarat utama, yakni :
·
Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang
memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan, dan
·
Harus sesuai dengan fakta-faka empiris sebab, teori
bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak
dapat diterima kebenarannya secara logika induktif, yang rasionalisme dan
empiris hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif.
Ilmu pengetahuan yang bersifat
konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemuan
sebelumnya. Sebenarnya hal ini belum satupun dari seluruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun teori
yang konsisten dan menyeluruh. Teori-teori masih merupakan penjelasan yang
bersifat sebagian sesuai dengan sikap perkembangan keilmuan yang masih sedang
berjalan. Demikan pula dengan jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan
kebenaran yang sekarang diterima secara ilmiah akan benar pula dimasa akan
datang. Sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan inilah yang sebenarnya merupakan
kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakekat ilmu pengetahuan. Sifat
pragmatis dari ilmu pengetahuan adalah sesuai dengan perkembangan peradapan
manusia yang telah terbukti secara nyata peranan ilmu pengetahuan dalam membangun peradapan tersebut.
Demikian yang telah terlihat
berbagai keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan, namun demikian kekurangan
bukan alasan untuk eksistensi ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita. Mereka
yang bersungguh-sungguh berilmu adalah yang mengetahui kelebihan dan kekurangan
ilmu pengetahuan. Dasar itulah merupakan alasan diterima ilmu pengetahuan
sebagaimana adanya, mencintai dengan bijaksana serta menjadikan bagian dari
kepribadian dan kehidupannya ha inilah yang ddapat dinamakan ilmu pengetahuan
yang holistik. Tanpa kesadaran itu, maka kita hanya kembali kepada
ketidaktahuan dan kegersangan seperti yang disyairkan oleh Bryon dan Monfred
dalam Suriasumantri, 1993, bahwa ilmu pengetahuan tidak membawa kebahagiaan dan
ilmu pengetahuan sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.
Apabila manusia ingin tahu apa yang
hendak diketahuinya atau dengan kata lain apa obyek tahu itu, sebelum ia tahu
ia kagum atas hal yang ada disekelilingnya, hal itu dapat dikatakan merangsang
dia lalu menimbulkan keinginan untuk tahu. Adapun yang mengelilingi dia adalah
dunia seisinya yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, asal ada. Bahkan
sekarang ini tidak ada akan tetapi tidak mengandung kemustahilan jadi mungkin
ada itupun ingin diketahui. Menurut Popper, 1989, untuk mengetahui
keingintahuannya maka manusia pertama-tama menggunakan pancainderanya, indera
inilah yang pertama-tama bersentuhan dengan alam. Dalam hal ini manusia tidak
pasif ia mengadakan reaksi. Reaksi dari pihak manusia adalah tahu dan
dicetuskan dengan putusan. Dengan demikian harus dikatakan, bahwa pengalaman
semata-mata bukanlah pengetahuan yang sebenarnya, melainkan hanya memungkinkan
pengetahuan. Pengetahauan sebenarnya baru ada, jika manusia demi pengalamannya
mengadakan putusan atas obyeknya.
Orang yang tahu disebut mempunyai
pengetahuan jadi pengatahuan tidak lain dari hasil tahu. Dalam pengetahuan ada
pengakuan sesuatu terhadap sesuatu. Ada dua sesuatu dalam putusan, sehingga
putusan selalu ada bagiannya yaitu yang menjadi dasar pengakuan dan diakui
terhadap dasar itu. Dasar pengakuan itu disebut subyek dan diakui terhadap
subyek itu namanya predikat. Sebagai contoh segitiga itu lancip, hanya berlaku
pada segitiga yang satu itu, lain halnya “segitiga itu jumlah sudutnya 180
derajad”. Berlaku untuk segitiga manakah segitiga itu ? Bukan untuk segitiga
tertentu melainkan untuk semua segitiga. Ternyata sifat keputusan di atas
tentang segitiga berbeda. Putusan segitiga itu lancip adalah khusus, sedangkan
putusan segitiga jumlah sudutnya 180 derajad adalah bersifat menyeluruh. Oleh
karena kedua macam putusan itu mengutarakan ilmu pengetahuan.
Self dan Ilmu Pengetahuan
Tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan indsutrialisasi
ialah adanya pengembangan kemampuan intelektual sehingga memiliki kemampuan
dialogis dan fungsional terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Menurut Syukur (1999) secara epistomologi tasawuf memakai metode intuitif, yang
pada abad ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dari rasionalisme
dan empirisme dan membantunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai
hal.
Intuisi merupakan salah satu tipe
pengetahuan yang memiliki watak tinggi daripada pengetahuan indera atau akal.
Diakuai bahwa arah intuisi itu berbeda, karena akal maupun indera merupakan
intsrumen yang lebih berkompeten untuk menghadapi obyek-obyek materi serta
hubungan-hubungan kuantitatif.
Sementara itu intuisi sebagai naluri
yang menjadi kesadaran diri manusia dapat menuntun pada kehidupan (immateri).
Bahkan jika intuisi dapat meluas dan mendominasi manusia, ia dapat memberi
petunjuk dalam hal-hal yang vital yang oleh Bergson disebut elan vital, yaitu dorongan rohani dari
dalam dan langsung (Titus dalam Syukur, 1999)
Apabila dilihat dari self dan ilmu
pengetahuan yang holistik David Truebood menjelaskan, bahwa paling tidak ada
tiga hal yang harus dipenuhi agar ilmu pengetahuan ini menyeluruh dan dapat
diterima antara lain : pertama moralitas
subyek, maksudnya karena ilmu pengetahuan
dapat dikatagorikan pada pengetahuan tingkat ilmiah yang lebih tinggi,
maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab
tidak setiap dapat mengikuti penyelidikannya secara tuntas.
Kedua,
akal sehat, artinya untuk menilai kevalitan ilmu pengetahuan pada seseorang,
maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, adakah fakta-fakta
pengetahuan itu dapat dinalar atau tidak. Sebab pada akhirnya kita harus
kembali pada akal, karena akal merupakan hakim terakhir.
Ketiga,
keahlian diri sebagai subyek secara tepat. Mengingat
pengetahuan bukan merupakan pengetahuan pada umumnya, maka untuk menilai secara
menyeluruh dan tingkat kebenarannya harus melihat pada subyek penerima/
menjalankannya, adakah ia memilikki keahlian dan berkompeten pada disiplin
pengetahuan itu atau tidak. Lebih
lanjut, bahwa ilmu pengetahuan yang baik
adalah keluar dari intuisi orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan
berkecimpung dalam bidang tertentu. Sebab fungsi metodologi maupun
sistematikanya berpikir yang berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita
agar bekerja setelah pikiran dihadapkan pada obyeknya, melainkan untuk
mempertajam pikiran kita sebelum memulai penyelidikan.
Kondisi tersebut ditinjau dari aspek
manusianya (self) maka penalaran dan intuisi merupakan suatu kesadaran yang
tinggi dalam self (diri). Menurut Hossein Nasr (1997), bahwa manusia “suci”
sadar akan peranannya sebagai perantara antara surga dan bumi dan entelechy-nya
seperti melebihi wilayah teresterialnya, yang membuat senantiasa sadar akan
kefanaan perjalanannya di bumi. Manusia seperti hidup dalam kesadaran realitas
spiritual yang mentransendensikannya dan yang belum pernah ada selain dari pada
realitas batinnya sendiri melawan terhadap apa yang tidak bisa dilawan,
sehingga manusia hidup diresapkan pada makna pada alam semesta.
Apabila dilihat dari realita
bahwa ilmu pengetahuan
mulai berkembang pada tahap ontologis, manusia berpendapat, bahwa
terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang
mengusai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ini, maka manusia (self) mulai
mengambil jarak dari obyek sekitar, tidak seperti yang terjadi dalam dunia
mistis, yang semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difus dan tidak
jelas batas-batasnya. Self mulai memberikan batas-batas yang jelas kepada obyek
kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi self sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek
tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, maka self memulai menentukan
batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan self dapat mengenal
wujud masalah itu, untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, maka ilmu
pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan (intuisi) melainkan kepada
pemikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu pengetahuan mencoba mencari
penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat dia mengerti mengenai
hakikat permasalahan yang dihadapinya dengan demikian, maka dia dapat
memecahkannya. Dalam hal ini, pertama-tama ilmu pengetahuan menyadari, bahwa
masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat kongkrit yang terdapat
dalam dunia nyata. Sehingga secara ilmu pengetahuan masalah yang dikajinya
hanya pada masalah yang terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia.
(Suriasumantri, 1993). Hal ini harus kita sadari karena inilah yang memisahkan
daerah ilmu pengetahuan dengan agama. Agama berbeda dengan ilmu pengetahuan,
mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada diluar pengalaman self, baik
sebelum manusia ini berada di muka bumi sebagaimana manusia diciptakan maupun
sesudah kematian manusia, seperti yang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali.
Perbedaaan antara lingkup permasalahan yang dihadapinya juga menyebabkan
perbedaan metode ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu
pengetahuan dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal
ini, maka mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal dengan mengusai
hakekat ilmu pengetahuan dan agama
secara baik, akan memungkinkan ilmu pengetahuan lebih sempurna, karena kedua
pengetahuan itu justru saling melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberikan
landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan dipihak lain ilmu akan
memperdalam keyakinan beragama.
Apabila
ditinjau lebih jauh bahwa ilmu pengetahuan, sesuai dengan obyek yang dilihat,
adalah kenyataan/reality. Kenyataan/reality menunjukan kepada sesuatu yang
lebih luas tidak dari sekedar ada/real. Ilmu pengetahuan yang hololistik merupakan ilmu pengetahuan
menyeluruh dan mempunyai paradigma tertentu, yang merupakan ilmu pengetahuan
yang harus menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, bagaimana seharusnya
menjawab serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi
yang dikumpulkan untuk menjawab persoalan tersebut.
Al Ghazali,
menginterprestasikan Al Qur’an tentang nafsu ammarah, nafsu lawwanah dan nafsu
mutmainah, ketiga nafsu tersebut dihubungkan dengan kesadaran, sehingga
terdapatlah “kesadaran iderawi” (ammarah) yang terendah, “kesadaran akali”
(lawwanah) yang pertengahan dan “kesadaran rohani” (mutmainah) yang tertinggi.
Selain itu Nataatmadja menarik implikasi dari
teori Al Ghozali dan pada kesimpulan bahwa rasa lebih unggul dari pada
rasio. Inipun bila di pandang dari sudut kaca mata ilmu pengetahuan
holistik bahwa kesadaran inderawi dan
kesadaran akali merupakan suatu kenyataan yang realita memang ada. Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Plato,
bahwa dunia jasmani (iderawi) hanya berdiri atau berada sebagai realitas dan sejauh dunia ini
merupakan partisipasi dunia rohani. Plato menganggap bahwa dunia atau dunia
idea merupakan realitas sejati atau dalam bahsa Yunani “Ontoos on” artinya
sunguh-sungguh ada. Dunia jasmani itu sebenarnya hanyalah semu atau
bayang-baynag realitas sesungguhnya.
Perpaduan
antara inderawi dan idea dalam konsep yang ada dapat menimbulkan tiga
kemungkinan utama yakni :
·
Daya intelektual yang merupakan
daya tertinggi manusia dapat berfungsi maksimal dan mampu mengendalikan dua
kesadaran lainnya, ini merupakan manusia Muslim yang disebut al-nafs
al-mutma’innah (QS. Al-Fajr ayat 28-30)
·
Daya intelektual manusia mampu
mengontrol dua kesadaran lainnya dan terkadang sebaliknya, ini yang disebut
manusia labil yang disebut al-nafs al-lawaamah yang ditempati oleh kebanyakan
manusia (al-Qiyamah ayat 2)
·
Daya intelektual manusia selalu
dikalahkan oleh dua daya lainnya, inilah sejelek-jelek manusia yang disebut
al-nafs al-ammarah bi al-su Al-Quran Surat Yusup ayat 53. Bahkan manusia ini
lebih buruk dari pada hewan (QS. Al-Furqon, ayat 44)
Hubungannya
dengan pembentukan ilmu pengetahuan holistik perbuatan manusia secara nyata
merupakan hasil pemikiran secara reality antara kesadaran inderawi dan akali
menjadi satu kesatuan yang seimbang sehingga manusia yang memikirkan tersebut
termasuk al-nafs al-mutma’innah. Lebih lanjut suatu pengetahuan yang bersifat
analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk
dalam pengalaman self, maka pembatasan adalah perlu. Pembatasan ini harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajiam keilmuan. Pembatasan harus dapat
operasional dan merupakan pengkajian teoritis. Kedua pembatasan tersebut dapat
disimpulkan “ keadaan sebagaimana adanya’ bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”. Keadaan sebagaimana adanya adalah pembatasan yang mendasari
telaahan ilmiah, dan bagaimana keadaan yang seharusnya adalah asumsi yang
mendasari telaahan moral. Uraian tersebut membawa kepada implikasi kepada ilmu pengetahuan holistik yang
memberikan pembatasan terhadapnya yaitu mengenai perilaku yang dipancarkan oleh
self sebagai subyek tersebut.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self yang
dapat membentuk Ilmu Pengetahuan yang Holistik adalah self yang dapat
mengontrol dan menaklukkan nafsu al-ammarah sehingga tidak menjadi liar dan
terkendali, hal ini berkaitan dengan kebenaran secara keseluruhan dengan
universal yang dapat diperoleh secara intuitif melalui akal dan realita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar