Selasa, 22 Februari 2011

ANALISIS FINANSIAL DAN EKONOMI

MODUL

MATAKULIAH
Analisis Investasi Agribisnis
ANALISIS FINANSIAL DAN EKONOMI
OLEH : SOETRIONO

Sumber :
Soetriono, 2006, Daya Saing Dalam Tinjauan Analisis, Bayu Media, Malang
Soetriono, 2010. Daya Saing Agribisnis Kopi Robusta, Sebuah Perpektif Ekonomi, Surya Pena Gemilang, Malang.


MODUL
PERBEDAAN ANALISIS FINANSIAL DAN EKONOMI

OLEH : SOETRIONO
Ps. Agribisnis Unej


Analisis Finansial dan Ekonomi

Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang petani sebagai pemilik. Analisis finansial diperhatikan didalamnya adalah dari segi cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan atau penjualan kotor (gross-sales) dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial sering juga disebut “private returns”. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam analisis finansial ialah waktu didapatkannya returns sebelum pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan proyek kehabisan modal.

Analisis ekonomi adalah analisis usahatani yang melihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the social returns” atau “the economic returns” dari usahatani.

Menurut Djamin (2003), Soetriono (2006) perbedaan antara keduanya adalah:

1. Harga

Pada analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar (market price), sedangkan pada analisis ekonomi untuk mencari tingkat profitabilitas ekonomi akan digunakan harga bayangan. Menurut Suad Husnan dan Suwarsono (2000), beberapa cara penggunaan harga bayangan antara lain sebagai berikut:

(a) Harga input output diperdagangkan

Harga bayangan yang digunakan untuk input output diperdagangkan adalah harga internasional atau border price yang dinyatakan dalam satuan moneter setempat pada kurs pasar. Menurut Djamin (2003), border price yang relevan untuk input dan output impor adalah harga impor CIF lepas dari pelabuhan (dikurangi segala jenis bea masuk, pajak impor, dan lain sebagainya), sedangkan pada input output yang merupakan barang ekspor maka border price yang relevan digunakan adalah harga FOB pada titik masuk pelabuhan ekspor.

(b) Harga input tidak diperdagangkan

Harga bayangan dari input adalah consumer willingness to pay atau kesediaan konsumen untuk membayar dalam hal ini adalah kesediaan pihak yang berkepentingan dalam proyek untuk membayar.

(c) Biaya tenaga kerja

Harga bayangan untuk biaya tenaga kerja adalah berapa sektor lain bersedia membayar untuk tenaga kerja tersebut apabila usahatani menarik tenaga kerja dari sektor lain. Kalau proyek tersebut menciptakan tenaga kerja, maka harga bayangan tenaga kerja jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah yang dibayarkan perusahaan kepada mereka.

(d) Lahan

Harga bayangan modal untuk lahan diperhitungkan dari biaya pengorbanan produksi (production foregone) yaitu hasil produksi dari tanah bila tidak digunakan untuk proyek, untuk tanah yang tidak menghasilkan maka harga bayangan dapat berupa harga sewa dari tanah tersebut.

(e) Nilai tukar valuta asing

Harga bayangan untuk nilai valuta asing adalah nilai resmi yang ditentukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dikali dengan faktor konfersi.

2)Pajak

Pembayaran pajak dalam analisis finansial akan dikurangkan pada manfaat proyek atau dianggap sebagai biaya. Sedangkan pada analisis ekonomi pembayaran pajak tidak dikurangkan dalam perhitungan benefit proyek yang diserahkan pada pemerintah untuk kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan, dan oleh karena itu dianggap sebagai biaya.

3)Subsidi

Didalam analisis finansial, subsidi (pengurangan pajak, pembatasan pajak impor terhadap bahan baku, dapat pula berupa sarana-sarana lainnya yang dapat dimanfaatkan proyek yang bersangkutan) akan mengurangi biaya proyek, jadi menambah benefit proyek, sedangkan pada analisis ekonomi subsidi tidak dihitung sebagai salah satu penyebab bertambahnya keuntungan oleh karena itu tidak dihitung.

Perbedaan penekanan pada analisis finansial dan analisis ekonomi yang telah diuaraikan sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.


Diantara perbedaan yang telah diuraikan, analisis finansial dan ekonomi juga memiliki beberapa persamaan yaitu mengenai kriteria dalam perhitungan. Perhitungan pada analisis finansial dan ekonomis dilakukan dengan menggunakan kriteria yang sama yaitu discounted kriteria. Kriteria analisis discounted kriteria adalah untuk mengetahui berapakah manfaat (benefit) serta biaya-biaya (cost) selama umur ekonomis proyek (in the future) nilainya saat ini (at present = t0) diukur dengan nilai uang sekarang (present value). Caranya adalah dengan menggunakan discounting factor, sebagai berikut:


Hasil dari formula rumus tersebut harus menunjukan NPV positif (+) yang akan diperoleh dari jumlah benefit kotor setiap tahunnya dikurangi dengan jumlah biaya per tahunnya, hasil di-discount dengan discounting factor untuk tahun yang bersangkutan, kemudian dikurangi dengan Io (initial infesment).


Gross benefit cost (Gross B/C) adalah perbandingan antara benefit kotor yang telah di-discount dengan cost secara keseluruhan yang telah di-discount.
Hasil dari perhitungan gross B/C digunakan sebagai alat untuk menganalisis layak atau tidaknya suatu proyek, dengan ketentuan sebagai berikut:
i) gross B/C > 1, maka proyek layak (feasible),
ii) gross B/C = 1, maka tercapai break event point, dan
iii) gross B/C < 1, maka proyek tidak layak. Internal rate of return (IRR) Analisis IRR akan dicari pada tingkat bunga berapa (discount rate) akan menghasilkan NPV sama dengan, atau mendekati I0 (initial investment), dengan perkataan lain NPV = 0. Nilai IRR secara tepatnya dapat dicari dengan menggunakan rumus:


Menurut Gray, dkk (2005), untuk tujuan analisis kelayakan, pasar dalam negeri dianggap sebagai bagian dari pasaran dunia sehingga keunggulan komparatif di pasar dalam negeri dinilai berdasarkan perbandingan antara opportunity cost rill dari produksi dalam negeri dengan border price yang relevan. Produksi yang relevan untuk produksi dalam negeri yang melebihi konsumsi nasional adalah harga FOB untuk ekspor, sedangkan untuk jenis barang tradable yang produksi dalam negerinya kurang dari konsumsi nasional, border price yang relevan adalah harga CIF.

Pada proyek yang feasible (layak) atau memiliki keunggulan komparatif, berarti dari segi efisien proyek tersebut dinilai menguntungkan, dengan kata lain opportunities cost dari sarana produksi yang dipakai oleh proyek lebih rendah daripada opportunities cost sumber-sumber yang perlu digunakan untuk mendapatkan atau menghemat satu dolar. Sebaliknya jika proyek tidak layak atau tidak memiliki keunggulan komparatif, artinya proyek tersebut mengakibatkan pemborosan sumber-sumber nasional karena peluang investasi yang tersedia diluar proyek masih mampu memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.

Free On Board (FOB) adalah harga perbatasan yang digunakan untuk barang-barang yang dapat diekspor yang didalamnya termasuk semua biaya sampai barang selesai dimuat di atas kapal sudah termasuk ongkos pengepakan dan bongkar muat (handling), dan pengangkutan ke pelabuhan, diukur dalam US$ per satuan (US$/satuan).

Cost Insurance and Freight (CIF) adalah harga yang digunakan untuk barang -barang yang dapat diimpor yang didalmnya teramsuk harga barang, ongkos pengepakan dan bongkar muat (handling), ongkos pengangkutan dari gudang ke pelabuhan sampai muat, diukur dalam US$ per satuan (US$/satuan).

2)Penetapan harga bayangan (Ilustrasi Contoh)

a)Lahan

Lahan termasuk dalam input untradable, dimana harga bayangan lahan yang digunakan adalah sama dengan nilai production forgone dari lahan yaitu nilai jual produksi tertinggi dari tanaman lain yang hilang apabila tanah tersebut tidak sedang digunakan sebagai perkebunan kopi. Di Kecamatan Antrabrantah tanaman yang ditanam oleh petani responden sebelum menanam kopi adalah padi gogo dan jagung. Dari kedua tanaman tersebut ternyata yang memiliki produksi dengan nilai jual tertinggi adalah padi gogo yaitu sebesar Rp6.229.000/ha/tahun, oleh karena itu harga bayangan dari lahan adalah sebesar Rp6.229.000/ha/tahun.

b)Nilai tukar mata uang

Harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap dolar diperoleh dengan rumus sebagai berikut:


Nilai tukar resmi (OER) yang digunakan adalah nilai tukar rata-rata pada tahun 2006 sebesar Rp9.585/US$. Pada triwulan I--III tahun 2006, penerimaan negara dari pajak ekspor (Tx) adalah sebesar Rp36.024.010.000, sedangkan bea masuk impor (Tm) adalah sebesar Rp30.942.040.000. Adapun nilai ekspor Indonesia (X) triwulan I--III tahun 2006 adalah Rp710.191.700.000, sedangkan nilai impor (M) Indonesia adalah sebesar Rp637.088.300.000 (BPS Pusat-Jakarta, 2006). Berdasarkan nilai- nilai tersebut maka diperoleh faktor konfersi bahan baku (SCF) tahun 2006 adalah sebesar 1,0037, sehingga harga bayangan nilai tukar mata uang yang diperoleh adalah sebesar Rp9.549,63/US$.

c)Bibit dan batang “entrys”

Harga bayangan bibit yang digunakan adalah sama dengan harga privatnya, baik itu bibit kopi, bibit tanaman pelindung, dan bibit tanaman tumpang sari. Begitu pula dengan harga bayangan batang “entrys” yang digunakan adalah harga privatnya. Hal ini disebabkan bibit dan batang “entrys” merupakan barang yang tidak diperdagangkan (untradable input).

d)Pupuk

Pupuk yang digunakan dalam usahatani kopi adalah pupuk kandang dan pupuk buatan yang terdiri dari pupuk urea, SP-36, dan KCl. Indonesia telah mengekspor pupuk urea, maka harga bayangan dihitung dengan harga menggunakan harga FOB dan mengimpor pupuk SP-36 dan KCl, maka harga bayangan dihitung dengan menggunakan harga CIF. Sedangkan harga bayangan pupuk kandang yang digunakan adalah sama dengan harga privatnya, karena pupuk kandang termasuk barang yang tidak diperdagangkan. Harga bayangan pupuk urea, SP-36, dan KCl pada tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 17 dan 18.



e)Tenaga kerja

Menurut Djamin (1993), harga bayangan tenaga kerja ditentukan berdasarkan jumlah dari production foregone (nilai yang seharusnya diterima seorang tenaga kerja yang bersangkutan bila ia tidak bekerja di perkebunan kopi), biaya pengangkutan tenaga kerja tersebut dari daerah tempat tinggalnya ke lokasi proyek, dan biaya makan dan pakaian.

Tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari masyarakat daerah setempat yang mengangur bila tidak ada perkebunan kopi, sehingga diasumsikan bahwa nilai production foregone sama dengan nol, selain itu karena berasal dari masyarakat setempat maka diasumsikan tidak ada biaya pengangkutan tenaga kerja. Sehingga harga bayangan upah tenaga kerja atau shadow wage adalah sama dengan nilai upah tenaga kerja finansial atau sebesar 0% dari nilai upah finansialnya yaitu sebesar Rp 15.000/HOK untuk semua tenaga kerja.

f)Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan dalam usahatani kopi merupakan produksi dalam negeri, dimana bahan bakunya terdiri dari komponen asing (importable) dan domestik (untradable), menurut Kadariah (2001) harga bayangan dihitung dengan rumus sebagai berikut:


Berdasarkan rumus tersebut maka harga obat-obatan yang dikelompokkan berdasarkan komponen komponen impor dan domestik pada tahun 2006 dapat di lihat pada Tabel 19.


Berdasarkan perhitungan komponen impor dan domestik yang terkandung dalam obat-obatan, maka diperoleh rata-rata harga bayangan obat-obatan yang merupakan hasil penjumlahan antara harga komponen impor dan domestik. Adapun penetapan harga bayangan obat-obatan dapat dilihat pada Tabel 5.


f)Bangunan dan alat-alat pertanian

Alat pertanian yang digunakan dalam usahatani kopi yang bersifat tradable adalah sprayer pestisida. Sprayer tersebut merupakan barang impor dengan menggunakan harga CIF. Perhitungan harga bayangan sprayer pestisida dapat dilihat pada Tabel6.

Harga bayangan untuk bangunan dan alat-alat pertanian selain sprayer pestisida yang digunakan dalam usahatani kopi adalah sama dengan harga privatnya karena bangunan dan alat-alat pertanian tersebut termasuk barang yang tidak diperdagangkan (untradable inputs).

h)Output

Output dalam penelitian ini adalah kopi dalam bentuk kering giling dengan rendemen 20%, selain itu petani di Kecamatan Pulau Panggung juga mengusahakan tanaman tumpang sari (lada dan kakao) di sela-sela tanaman kopi mereka, dimana hasil penjualan produksinya dapat menambah penerimaan.
Harga bayangan kopi kering giling, lada, dan kakao diperoleh dari harga batas (border price) FOB karena merupakan komoditas ekspor. Adapun penetapan harga bayangan hasil produksi (kopi kering giling, lada, dan kakao) dapat dilihat pada Tabel 7

f)Bunga modal

Harga bayangan bunga modal adalah tingkat suku bunga tabungan privat tahun 2006 yaitu sebesar 11,80% ditambah dengan rata-rata tingkat inflasi bulanan selama 2 tahun (2005--2006) yaitu sebesar 12,69% (www.bi.go.id, diakses tanggal 26 Januari 2006). Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh harga bayangan bunga modal sebesar 24,49%.

Berdasarkan uraian penentuan harga privat dan harga bayangan, maka perbedaan diantara keduanya dapat dilihat pada Tabel 8.



KONSEPSI WILAYAH ATAU REGION

Sumber : Rudi Wibowo dan Soetriono, 2004, Konsep, Teori, dan Landasan Analisis Wilayah, Bayu Media, Malang


SIFAT WILAYAH

Secara definitif, apakah yang disebut dengan wilayah? Sebagian besar jawaban pasti akan diperoleh dengan definisi yang berbeda-beda untuk pertanyaan ini. Kesimpulan umum dari semua definisi wilayah yang pernah dikemukakan adalah merupakan buah pikiran dari suatu daerah geografis yang disusun dalam suatu inti sari, sehingga pernyataan tentang wilayah sebagai suatu keutuhan yang mempunyai arti dapat dibuat. Dengan demikian, wilayah (region) dapat merupakan suatu unit geografi yang membentuk suatu kesatuan. Pengertian unit geografi adalah "ruang", sehingga bukan hanya merupakan aspek fisik tanah saja, akan tetapi lebih dari itu meliputi aspek-aspek lain seperti biologi, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.

Pembatasan (demarkasi) suatu wilayah seringkali dilakukan berdasarkan adanya korelasi yang kuat dari bahagian-bahagian (baik fisik maupun non fisik) yang membentuk wilayah tersebut. Proses pengelompokan (aggregation) ke dalam wilayah-wilayah akan bermanfaat untuk membuat suatu deskripsi, akibat harus ditangani serta dipahaminya pemisahan dan pengelompokan data lainnya yang lebih kecil. Jadi untuk berbagai tujuan, jumlah keseluruhan dan rata-rata dari suatu wilayah sensus dan wilayah kecil akan bersifat lebih informatif, mudah ditangani serta disajikan daripada hanya merupakan tumpukan hasil sensus belaka, terutama jika seseorang telah terlibat langsung didalamnya. Dengan kata lain bahwa proses pengelompokan di atas akan bersifat ekonomis untuk suatu analisis informatif; khususnya akan menjadi penting jika terdapat sejumlah data dan informasi saling menunjukkan ketergantungan antara unit-unit atau kegiatan¬kegiatan dengan wilayah, sehingga suatu keutuhan yang sebenarnya akan mendekati jumlah dari masing-masing bagian yang terdapat didalamnya.

Akhirnya dapat dikatakan juga bahwa proses pengelompokan untuk demarkasi suatu wilayah tertentu sangat diperlukan untuk tujuan administrasi dan formulasi, serta untuk melengkapi rencana-rencana dan kebijaksanaan negara (public policy). Berdasarkan titik tolak ini pengelompokan wilayah yang paling bermanfaat seringkali dilakukan dengan mengikuti batasan-batasan dari kekuasaan administratif. Perlu dikemukakan, yang paling utama dari pembatasan (demarkasi) wilayah tersebut adalah "meaningful" untuk tujuan-tujuan yang dikehendaki.

Ide pokok dari sebuah wilayah merupakan hubungan yang mendasar dari tingkah laku diantara berbagai bagian-bagian yang membentuknya. Karena hubungan ini dapat menggambarkan secara sekaligus dua perbedaan sifat struktur interen semata-mata, maka kita membedakan paling tidak tiga macam wilayah yang berbeda menurut tipe wilayahnya, yaitu "wilayah homogen" dan "wilayah nodal" ("nodal region") serta wilayah administratif atau wilayah perencanaan. Selain itu, dapat pula pembagian wilayah dibatasi menurut hirarkhi atau peringkat (rank) dari satuan-satuan wilayah yang ada, atau dapat pula dibagi menurut katagori-katagori.


TIPE-TIPE WILAYAH

Dalam menyoroti arti dan eksistensi wilayah berdasarkan tipenya, kita akan bertitik tolak pada konsepsi homogenitas dan heterogenitas. Jika kita mendasarkan diri pada eksistensi wilayah yang mendasarkan pada konsepsi homogenitas, disebut istilah wilayah homogen (formal, homogeneous, uniform region). Dalam hal ini yang penting adalah keseragaman dari faktor-faktor pembentuk yang ada dalam wilayah itu, baik secara sendiri-sendiri (individual) maupun gabungan dari beberapa unsur. Mengingat konsepsi tersebut tidak semudah yang tertulis dalam teori, serta mengingat kesukaran-kesukaran tentang deliniasi (pembatasan)-nya, maka kemudian timbul konsepsi wilayah inti (core region).

Uraian tentang sesuatu wilayah ditinjau dari konsep homogenitas tersebut, yang dipentingkan bukan semata-semata pengenalan sejauh mana batas-batas terluar suatu wilayah tertentu, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah mengenal bagian intinya. Hal ini perlu ditekankan, mengingat karakter utama sesuatu wi¬layah tercermin dalam bagian intinya. Daerah inti adalah suatu bagian dari suatu wilayah yang mempunyai derajat deferensiasi paling besar dengan wilayah yang lain, sedang batas-batas wilayah dalam konsep homogenitas semata-mata merupakan bagian yang mempunyai derajat deferensiasi paling kecil atau nol dengan semata-mata merupakan wilayah tersendiri dengan ciri tersendiri pula.

Pandangan kedua tentang wilayah berdasarkan tipenya adalah mendasarkan pada konsep heterogenitas. Dalam konsep ini tercermin suatu pola interdependensi dan pola interaksi antara subsistim utama ekosistem dengan subsistem utama sosial sistem, dan penekanan utamanya menyangkut segi-segi kegiatan manusia. Biasanya sistem yang ada dalam batas-batas wilayah tersebut terkontrol oleh sebuah titik pusat.

Sering pula dikatakan bahwa di samping menekankan pandangannya pada konsep heterogenitas, juga menekankan pada ide-ide sentralitas. Untuk menentukan batas-batas wilayah (demarkasi wilayah) banyak sekali cara yang dapat digunakan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, atau dapat juga dengan generalisasi maupun klasifikasi, atau gabungan dari keduanya. Oleh karenanya, sering pula muncul wilayah perencanaan atau administrasi, yang sebenarnya merupakan penggabungan dari konsep-konsep tersebut di atas.

Wilayah Homogen atau Formal
(Homogeneous Region)

Konsep wilayah homogen (homogeneous region) didasarkan pada pendapat bahwa wilayah-wilayah geografik dapat dikaitkan bersama-sama menjadi satu wilayah tunggal apabila wilayah-wilayah tersebut mempunyai ciri-ciri yang seragam. Ciri-ciri ini dapat bersifat ekonomi (misalnya, struktur produksinya serupa, atau pola konsumsinya homogen), bersifat geografik (misalnya, topografi atau iklimnya serupa), bahkan dapat juag bersifat sosial atau politik (misalnya, suatu kepribadian regional atau suatu kesetiaan yang bersifat tradisionil kepada partai). Contoh yang dapat dikemukakan misalnya wilayah produksi padi di pantura Jawa Barat, wilayah perkebunan karet di Sumatera Utara, dan lain sebagainya. Akan tetapi, wilayah-wilayah yang akan mempunyai keseragaman dalam hal-hal tertentu mungkin juga berlainan dalam hal-hal lainnya, dan usaha¬-usaha para pakar ilmu bumi untuk menentukan batas-batas wilayah homogen semuanya tenggelam dalam persoalan yang menyulitkan tersebut.

Pada penelaahan wilayah berdasarkan batasan wilayah homogen tersebut. wilayah homogen dibatasi berdasarkan keserupaannya secara intern (internal uniformity), misalnya, batas lingkaran wilayah dingin untuk menanam gandum di Amerika bagian tengah merupakan wilayah pertanian yang homogen karena semua tempat di wilayah tersebut menanam tanaman utama yang sejenis dengan cara yang serupa pula. Setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut (internal change) seperti subsidi harga pertanian atau program bantuan yang sama sekali baru, adanya rangkaian tahun yang bermusim kering, atau perubahan permintaan gandum dunia, kesemuannya ini akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah dengan cara yang sama; apa yang berlaku untuk satu bagian wilayah akan berlaku pula untuk bagian wilayah lainnya, dan berbagai bagian akan lebih menyerupai bagian wilayah didalam wilayah (region) tersebut daripada di wilayah-wilayah di luarnya.

Dilihat dengan ukuran mikro, lingkungan wilayah yang homogen atau wilayah di sekitar wilayah perkotaan (seperti wilayah perkampungan orang Jahudi atau suku tertentu, wilayah pemasaran pedagang besar dan wilayah lainnya) juga dipandang sebagai suatu wilayah yang homogen untuk tujuan-tujuan yang tertentu.

Kepentingan para pakar di lingkup ekonomi misalnya, kriteria yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan wilayah homogen misalnya adalah keserupaan dalam tingkat pendapatan perkapita. Daerah yang didefinisikan berdasarkan kriteria ini pada hakekatnya adalah tanpa-ruang (spaceless), karena definisi seperti itu mempunyai arti bahwa sesuatu wilayah bertumbuh dan merosot sebagai suatu keseluruhan dan bukannya berarti bahwa pendapatan total mengalami perubahan sebagai akibat dari pengaruh yang terpisah-pisah terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlokasi pada berbagai pusat yang berlainan di dalam wilayah yang bersangkutan.

Seirama dengan uraian di atas, perekonomian nasionalpun dapat diperlakukan sebagai seperangkat pusat-pusat yang terpisah- pisah ini dalam tata¬ruang yang dapat dinamakan wilayah-wilayah. Dalam analisis seperti ini, pengaruh-pengaruh perbedaan jarak dan tata-ruang di lingkungan wilayah diabaikan, dan wilayah hanya dipandang sebagai komponen-komponen dari suatu perekonomian banyak-sektor.

Cara-pendekatan analisis wilayah atau regional semacam ini dapat dinamakan sebagai ekonomi makro inter-regional (interregional macroeconomics). Disebut demikian karena cara ini lebih merupakan penerapan model pendapatan nasional dan model pertumbuhan nasional kepada tingkat regional, walaupun harus dicatat bahwa masing-masing wilayah juga diperlakukan sebagai suatu perekonomian terbuka dan dengan demikian model-model tersebutpun menentukan perdagangan dan arus faktor inter-regional dan juga pendapatan regional. Persoalan-persoalan pokok seperti perubahan pendapatan regional, fluktuasi-¬fluktuasi, kebijaksanaan stabilisasi serta determinan-determinan pertumbuhan regional dapat dianalisis berdasarkan kerangka seperti itu.

Dengan demikian, ilmu ekonomi-makro regional secara implisit mengasumsikan homogenitas. Mengapa? la bertujuan memprediksi perubahan-¬perubahan jangka-pendek dan jangka-panjang dalam kegiatan ekonomi regional berdasarkan saling-pengaruh dari peubah-peubah parametrik tertentu (misalnya, hasrat konsumsi marginal dan hasrat impor marginal, rasio modal-output marginal). Penggunaan variabel-variabel ini sebagai sarana prediksi tidak akan berhasil kecuali jika peubah-peubah tersebut mempunyai nilai-nilai konstan yang serupa di wilayah yang bersangkutan secara keseluruhan atau jika mereka mengalami perubahan dengan cara yang ajeg, yang dapat diperkirakan sebelumnya. Syarat-syarat ini tidak akan terpenuhi jika nilai-nilai regional keseluruhan tersebut adalah merupakan rata-rata dari perubahan-perubahan yang sangat besar di dalam berbagai bagian dari wilayah yang bersangkutan. Jadi, jika kita meluaskan teori ekonomi-makro sampai kepada analisis regional maka kitapun mengabstraksikan perbedaan-perbedaan di dalam tiap-tiap wilayah, dan masing¬-masing wilayah kita perlakukan sebagai homogen dan, pada akhirnya, tidak ada sama sekali analisis yang bersifat ruang.

Wilayah Nodal atau Fungsional atau Wilayah Berkutub
(Polarized Region)

Prinsip alternatif regionalisasi lainnya adalah "wilayah nodal". Wilayah Nodal pada dasarnya dilandasi oleh adanya faktor ketidak-merataan atau faktor heterogenitas, akan tetapi satu sama lain saling berhubungan erat secara fungsional. Dengan demikian struktur dari wilayah Nodal tersebut dapat digambarkan sebagai satu sel yang hidup atau sebuah atom, dimana terdapat satu inti (pusat, central, metropolis) dan wilayah periferi (pinggiran, hinterland) yang merupakan bagian sekelilingnya yang bersifat komplementer (saling melengkapi) terhadap intinya. Dalam hal ini, wilayah Nodal terdiri dari bagian-bagian dengan fungsi yang berbeda-beda, walaupun secara fungsional mereka berkaitan satu sama lain. Pada struktur yang demikian integrasi fungsional akan lebih merupakan dasar hubungan-hubungan atau dasar dari kepentingan masyarakat di dalam wilayah semacam itu, daripada merupakan homogenitas semata-mata. Salah satu contoh wilayah nodal adalah wilayah kabupaten Bogor, yang teridiri dari kota Bogor sebagai pusat (intinya), dengan daerah-daerah Cibinong, Puncak dan Jasinga sebagai wilayah hinterland atau pinggirannya, yang satu sama lain saling melengkapi secara fungsional.

Dengan memahami tentang bagaimana arah tingkah laku dari kegiatan-¬kegiatan yang berbeda baik dari pendekatan dan saling ketergantungannya dengan suatu lokasi wilayah, akan mempengaruhi pembangunan wilayah satu sama lainnya. Dengan demikian pada setiap wilayah akan terdapat sejumlah besar pertukaran barang-barang dan jasa jasa diantara berbagai kegiatan. Sebuah pabrik perabotan rumah tangga (meubel) misalnya akan membeli kebutuhan listrik, jasa karyawan, sarana-sarana umum dan paling tidak sebagian bahan baku dan peralatan kantornya dari wilayah setempat. Sebuah perusahaan pedagang besar akan menyediakan kebutuhan dari pengecer-pengecernya di dalam suatu wilayah dan memperoleh jasa karyawan, sarana umum dan sebagian input lainnya dari wi¬layah itu sendiri. Kenyataannya hampir setiap individu di dalam wilayah tersebut bertindak sebagai konsumen atau pembeli dari produsen yang ada dan sebagai penjual atau produsen untuk individu lainnya di wilayah itu juga, sehingga akan membantu kelangsungan dari berbagai kegiatan-kegiatan lainnya.
Dalam hubungan saling ketergantungan tersebut, yaitu dengan perantaraan pembelian dan penjualan barang-barang serta jasa jasa secara lokal, kegiatan¬-kegiatan regional akan mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam persaingan untuk mendapatkan tempat dan sumber-sumber (resources) lokal yang langka lainnya, seperti misalnya air. Hubungan-hubungan tersebut pada jaman David Ricardo telah dikupas dengan sangat baik dengan teori Ricardian Rent yang sangat terkenal itu.

Walaupun sangat sulit untuk dapat memahami saling ketergantungan yang terdapat dalam suatu perekonomian wilayah dengan sempurna, namun kita cukup sadar bahwa ketergantungan tersebut sebenarnya memang ada. Ciri normal suatu wilayah telah tercermin dalam suatu kesepakatan umum atas kepentingan regional bersama; dan beruntunglah bahwa dengan ini semua berarti dapat dilakukannya usaha-usaha bersama yang rasional untuk mengembangkan kemakmuran wilayah.

Beberapa contoh dapat digambarkan pada uraian-uraian di bawah ini. Misalnya sebuah kota dan lalu lintas kesibukan di sekitarnya, dan juga sebuah wilayah perdangangan akan membentuk suatu pusat pertemuan wilayah (nodal regions). Bagian-bagian wilayah dengan konsentrasi utamanya pada perdagangan dan kesempatan kerja (employment) akan berbeda sama sekali dengan wilayah-¬wilayah tempat tinggal, khususnya seperti "pemukiman di luar kota"; tetapi akan terdapat hubungan yang erat antar wilayah tersebut dalam arus karyawan, barang¬-barang dan jasa-jasa. Jadi sebaiknya wilayah (region) di atas dipertimbangkan sebagai satu kesatuan, dalam reaksinya merubah keadaan-keadaan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Baik pusat perdagangan maupun wilayah sekitarnya tidak dapat berkembang secara sendiri-sendiri.

Contoh lain, misalnya untuk membangun suatu perencanaan dan administrasi dari suatu "wilayah", "sub-wilayah", "distrik", atau wilayah hukum lainnya, pertimbangan homogenitas dan nodalitas akan saling mengkait dan akan merupakan kombinasi antar faktor-faktor khusus dalam kasus-kasus yang tertentu. Kasus riil misalnya dalam kaitan dengan perencanaan suatu waduk pengairan, pengawasan arus air, pertahanan, saluran pembuang, administrasi sekolah desa, pemadam kebakaran dan keamanan, bantuan kepada kelompok minoritas lemah, pengadilan negeri, dan lainnya.

Di negara besar seperti Amerika Serikat, bahkan di negara kita sesungguhnya sebagian besar lembaga pemerintahan nasional di "desentralisasikan" pada sejumlah pekerjaan/tugas dengan penentuan batas-batas wilayah regional yang mempunyai pusat administrasinya sendiri-sendiri. Masing-¬masing lembaga ini akan menentukan pertimbangan effisiensi dan kepentingan politik yang ditetapkannya sendiri-sendiri, sesuai dengan penggunaan untuk wilayah dan pusat-pusat regional tertentu; tetapi masalah koordinasi administratif dan perekonomian ini masih akan menjadi pertimbangan lembaga-lembaga pemerintahan di tingkat pusat.

Sejumlah peneliti dapat saja merencanakan teknik membagi-bagi sebuah wilayah ke dalam jumlah "optimum" dari "wilayah-wilayah nodal" yang lebih rumit, dengan memakai dasar timbangan faktor-faktor rangkaian tata-ruang. Rumusan tersebut dapat disesuaikan untuk membuat batasan-batasan secara lebih baik atau cukup secara kasar saja, tergantung pada tujuan untuk pembagian wilayah tersebut.

Prinsip yang harus dipegang adalah jika perhatian utama kita menyangkut "wilayah-wilayah nodal", maka pertama-tama kita harus memulai dengan melihat secara mendalam pada dua macam hubungan yang saling berkaitan antara berbagai kegiatan-kegiatan suatu wilayah. Hubungan ini akan merupakan sarana penunjang dalam mempelajari bab-bab selanjutnya, seperti misalnya (1) bagaimana suatu wilayah berkembang dan mencapai sifat-sifat yang berbeda; (2) bagaimana suatu wilayah berhubungan satu dengan yang lainnya dalam suatu perdagangan, investasi, migrasi dan berbagai arus (flow) lainnya, serta bagaimana pengaruh suatu wilayah dengan wilayah lainnya; dan (3) bagaimana sifat-sifat tertentu dari pola-pola tata-ruang berbagai kegiatan, termasuk masalah-masalah yang mengikutinya akan berkembang didalam wilayah.

Wilayah Administrasi atau Perencanaan
(Planning Region)

Di samping wilayah-wilayah Homogen dan Nodal, menurut tipenya wilayah dapat digolongkan dalam wilayah Administrasi atau wilayah Perencanaan. Pembagian menurut ketagori tersebut dianggap penting jika kita berkaitan dengan persoalan kebijaksanaan dan perencanaan wilayah.

Pada dasarnya, wilayah administrasi atau wilayah perencanaan adalah wilayah yang menjadi ajang penerapan keputusan-keputusan ekonomi. Region ini umumnya dibatasi oleh kenyataan bahwa unit wilayahnya berada di dalam kesatuan kebijakan atau administrasi. Sebagai contoh adalah wilayah yang tergolong dalam kategori Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa dan sebagainya. Dapat juga pembagian dilakukan menurut kriteria region yang karena sifat alaminya harus direncanakan secara bersama atau serentak, seperti wilayah DAS (daerah aliran sungai).

Walaupun wilayah perencanaan sifatnya tertentu (tetap), adakalanya pembagian pembatasannya dianggap kurang baik jika tidak selaras dengan pembatasan ekonomi alamiah. Dalam pada itu, wilayah administrasi seringkali dapat dianggap sebagai wilayah yang menuntungkan demarkasinya jika dikaitkan dengan kebutuhan data untuk pengambilan keputusan yang dikehendaki dalam perencanaan.


Gambar 2.1 Kosepsi Wilayah

HIRARKHI-HIRARKHI ATAU RANK WILAYAH

Selain berdasarkan tipenya, pembagian sesuatu wilayah dapat dilihat berdasarkan pada order atau rank atau hirarkhinya, dengan mempergunakan kaidah-kaidah penyusunannya berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Untuk ini, kita dapat bertitik tolak dari berbagai cara pandang kriterianya, misalnya ditinjau dari segi size (ukuran), form (bentuk), function (fungsi), atau mungkin kriteria¬kriteria lainnya. Dapat pula landasan atau titik tolak tinjauannya berdasarkan pada gabungan dari berbagai kriteria atau faktor tersebut di atas.

Pada dasarnya, menurut pembagian jenis ini, semua pengertian wilayah akan selalu ditekankan pada sifat khususnya (unique characteristic). Berdasarkan sifat-sifat khusus tersebut, sesuatu wilayah akan dapat dilihat dalam kriteria yang lebih rinci atau lebih detil lagi, sehingga akan sampai pada suatu sudut pandang wilayah yang tarafnya merupakan unit yang terkecil, dalam arti tidak lagi dapat diurai lebih kecil.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan tentang pandangan wilayah yang menekankan pada rank/hirarkhi wilayah, dibuat oleh pakar dari Jerman, yaitu Passarge. Passarge pada dasarnya mengemukakan konsepsi tentang hirarkhi sesuatu wilayah atau 'rank of region' kira-kira seperti gambaran di bawah ini.

Pada suatu pembagian wilayah, satuan wilayah terkecil disebut dengan gegend, kemudian secara berturut-turut dalam hirarkhi yang semakin tinggi wilayah tersebut disebut dengan istilah- istilah landschafsteil, landschaft, landsteil dan land. Urut-urutan wilayah seperti diuraikan tersebut pada dasarnya mencer¬minkan tingkatan atau orde dari suatu wilayah. Pengertian tersebut memberi pengertian bahwa penggabungan dari wilayah-wilayah yang termasik dalam kriteria gegend akan membentuk suatu wilayah yang disebut landschafsteil. Selanjutnya pengelompokan atau penggabungan dari beberapa landschafsteil akan membentuk suatu kriteria wilayah yang lebih luas dan diistilahkan dengan landschaft. Pengelompokan atau penggabungan dari beberapa landschaft akan membentuk suatu kriteria wilayah yang lebih luas lagi yang disebut landsteil, dan penggabungan dari beberapa landsteil akan membentuk wilayah dengan kriteria yang dinamakan land.

Berdasarkan pembagian tersebut, pada hakekatnya pembagian-pembagian wilayah menurut hirarkhi seperti tersebut di atas sebenarnya dapat diperlakukan ke dalam pembagian-pembagian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu lainnya, baik dengan mempertimbangkan unsur-unsur wilayah terpilih (tertentu, sebagian) atau keseluruhan unsur-unsur wilayah yang ada. Dalam hal ini, pembagian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu pada dasarnya berlandaskan pada tujuan analisis yang akan diperlakukan pada wilayah-wilayah tersebut.

Dalam bentuk bagan, pembagian wilayah menurut hirarkhinya tersebut dapat digambarkan sebagai sebagai berikut :


Gambar 2.2. Pembagian Wilayah Menurut Hirarkhi (Regional Hierarchy)
Keterangan
A : Gegend - hirarkhi wilayah menurut orde terkecil
B : Landschafsteil - hirarkhi wilayah menurut orde ke-2
C : Landschaft - hirarkhi wilayah menurut orde ke-3
D : Landsteil - hirarkhi wilayah menurut orde ke-4
E : Land - hirarkhi wilayah menurut orde ke-5.

Sebenarnya pembagian wilayah menurut hirarkhi tersebut akan menjadi sangat berguna bagi tujuan perencanaan wilayah. Konsepsi- konsepsi tersebut tentu saja dapat diperdalam menurut kepentingan di dalam bidang perencanaan yang dilakukan, sehingga tujuan perencanaan serta konsepsi-konsepsi yang digunakan akan selalu konsisten.

WILAYAH BERDASARKAN KATEGORI-KATEGORI
Pembagian wilayah selain berdasarkan tipe dan hirarkhinya, dapat pula disusun berdasarkan kategorinya. Pada dasarnya pembagian wilayah menurut katagori-katagori ini menunjukkan kekhususan peubah-peubah yang diperlakukan di dalarn menyusun pembagian wilayah. Dengan perkataan lain, berbagai peubah dapat diperlakukan pada pembagian wilayah untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga akan menunjukkan tingkat diferensiasi atau pembedaan dari wilayah (regionalisasi) berdasarkan katagori-katagori atau peubah-peubah yang menyusunnya.

Pada umumnya, penggolongan yang sangat sering diperlakukan dalam regionalisasi wilayah dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok wilayah, yaitu

(a) wilayah berdimensi tunggal (single topic region)
(b) wilayah berdimensi gabungan (combined topic region)
(c) wilayah multi dimensi (multiple topic region)
(d) wilayah berdimensi total (total region)
(e) wilayah compage.

Wilayah Berdimensi Tunggal atau single topic region merupakan suatu wilayah yang eksistensinya hanya didasarkan pada satu macam peubah atau persoalan saja. Jika dibandingkan dengan pembentukan wilayah berdasarkan pembagian menurut tipenya, maka jenis wilayah seperti ini dapat merupakan wilayah formal ataupun wilayah fungsional.

Wilayah Berdimensi Gabungan atau combined topic region pada dasarnya hampir sama dengan jenis wilayah Berdimensi Tunggal, akan tetapi mempunyai perbedaan hakiki diantara keduanya. Wilayah yang dibentuk sebagai realisasi gabungan beberapa peubah atau dimensi ini, tentu saja berbeda dengan wilayah yang hanya mendasarkan pada satu dimensi atau peubah saja. Peubah-peubah yang diikutsertakan di dalam wilayah gabungan ini lebih dari satu jenis, sehingga mempunyai cakupan analisis yang lebih rinci. Sebagai gambaran dapat dikemukakan adalah, suatu wilayah yang dihasilkan dari deliniasi atau demarkasi atau pembatasan atas tingkatan pendapatan penduduk (pendapatan perkapita) saja akan menghasilkan wilayah dengan satu dimensi saja (single topic region), sedangkan pembagian atau deliniasi regional yang mendasarkan pada gabungan dari beberapa dimensi atau peubah seperti pendapatan, tingkat konsumsi perkapita, aset dan sebagainya akan memberikan kriteria wilayah-wilayah yang secara ekonomi mempunyai karakteristik yang berbeda-beda berdasarkan kombinasi yang mungkin diperoleh dari karakteristik-karakteristik yang dimasuk¬kan sebagai dimensi tersebut, dengan tujuan analisis utama misalnya status ekonomi masyarakat. Wilayah jenis yang terakhir tersebut dapat digolongkan sebagai wilayah berdimensi gabungan (combined topic region).

Contoh lain misalnya wilayah yang hanya memperhitungkan perbedaan terhadap curah hujan saja (wilayah berdimensi tunggal), dibandingkan dengan wilayah yang memperhitungkan peubah-peubah curah hujan, kelembaban udara, temperatur, dan tekanan udara dalam jangka panjang akan menghasilkan wilayah¬wilayah iklim yang mempunyai karakteristik berbeda-beda. Wilayah dalam perwujaudan seperti tersebut terakhir ini disebut wilayah berdimensi gabungan. Contoh-contoh lain diharapkan dapat dilakukan untuk bidang-bidang lainnya.

Wilayah Multi Dimensi atau multiple topic region, adalah suatu wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa dimensi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan mendasar antara wilayah multi dimensi dengan wilayah berdimensi gabungan adalah terletak pada tujuan analisisnya.

Secara umum dapat diidentifikasi bahwa di dalam wilayah berdimensi gabungan mendasarkan pada unsur-unsur dari satu topik, sedangkan pada wilayah multi dimensi mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda-beda tetapi masih berhubungan satu sama lain. Umumnya pembagian wilayah semacam ini ditujukan kepada obyektif- obyektif yang lebih luas sifatnya. Sebagai contoh adalah dalam rangka untuk mengevaluasi sesuatu daerah pertanian, maka faktor-faktor yang berhubungan dengan pertanian digunakan sebagai dasar untuk pembagian atau deliniasinya. Faktor-faktor tersebut dapat meliputi antara lain data tentang iklim, keadaan tanah, hidrologi, geomorfologi, dan lain-lain yang dianggap memegang peranan penting dalam masalah pertanian. Kombinasi dari berbagai topik tersebut akan memberikan resultan di dalam menentukan adanya wilayah yang tergolong dalam jenis wilayah multi dimensi.

Perlu untuk diungkapkan, bahwa disamping mendasarkan pada topik-topik yang berhubungan dalam wilayah multi dimensi, dalam deliniasi wilayah tersebut dapat pula mendasarkan pada topik-topik yang tidak berhubungan dengan erat. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini tentang eksistensi wilayah ekonomi (economic region), dasar-dasar deliniasinya tidak semata-mata pada faktor-faktor ekonomi, tetapi seringkali memasukkan pula faktor-faktor non ekonomi sebagai bahan yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam analisisnya.

Wilayah Berdimensi Total atau total region, dalam hal ini menunjukkan bahwa dalam wilayah tersebut semua unsur wilayah tercakup dalam deliniasinya. Regionalisasinya biasanya bersifat klasik, dimana kesatuan politik digunakan sebagai landasan di dalam membentuk sesuatu wilayah.

Jika ditelaah, salah satu keuntungan dalam pembagian wilayah seperti ini umumnya terletak pada kemudahan di dalam pelaksanaan regionalisasinya, terutama jika ditinjau dari segi administrative convenience-nya. Sebaliknya, pendekatan wilayah (region approach) yang berlandaskan pada cara-cara klasik tersebut seringkali lebih banyak justru menampakkan kesulitan dibandingkan kemudahannya. Mengapa demikian?. Kesemua hal tersebut semata-mata karena luasnya persoalan atau peubah-peubah yang harus diperhatikan atau dicakup di dalam pertimbangan analisisnya. Khususnya bagi kepentingan perencanaan, konsep-konsep perwilayahan seperti ini seringkali selalu dihindarkan, mengingat derajat keseragaman atau homogenitas dari persoalan yang ditelaah relatif sangat kecil.

Wilayah Compage, adalah merupakan wilayah yang bukan terdiri dari banyak atau sedikitnya variabel atau topik yang menjadi pertimbangan utama, melainkan menonjolnya kegiatan manusia. Dengan demikian penonjolan kegiatan manusia di sesuatu tempat menjadi dasar untuk deliniasinya. Orietasi tidak lagi menitikberatkan pada physical setting-nya, melainkan bobot dari kegiatan manusia ditinjau dari kepentingan lokal maupun nasional. Hal terakhir ini tentu saja tidak terlepas dari usaha melestarikan dan mengembangkan sumber daya lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas tidaklah berarti kita harus menganut salah satu dari konsep-konsep tersebut, tetapi kombinasi silang dari antara konsep-konsep tersebut dapat pula dilakukan. Hal ini tergantung pada jenis kegiatan, lingkup usaha, masalah, besar-kecil daerah, dan tujuan program yang direncanakan.

Secara menyeluruh, berbagai kombinasi silang dari konsep- konsep wilayah tersebut di atas adalah sebagai gambar di bawah.


Gambar 2.3. Kombinasi konsep wilayah




Selasa, 15 Februari 2011

Makalah Bali

RINGKASAN
Dampak Kebijakan Pemerintah dan Strategi Percepatan Daya Saing 
Agribisnis Kopi Robusta

Oleh : Soetriono
 Program Studi Agribisnis Pasca Sarjana Fakultas Pertanian  Universitas Jember
BALI , 4-5 OKTOBER 2010
Simposium Kopi Nasional Nusa Dua Bali

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari, meramalkan dan merumuskan daya saing komoditas kopi robusta sehingga diharapkan akan memperoleh keselarasan langkah sebagai upaya mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai kesenjangan, baik dari aspek produksi, permintaan input output, agroindustri dan kebijakan pemerintah di masa akan datang. Metodologi yang digunakan antara lain; dalam penetapan sampling wilayah menggunakan sektor basis, dengan wilayah terpilih di Jawa Timur (Kabupaten Malang, Jember, Banyuwangi) dan Propinsi Lampung di Kabupaten Tanggamus, data yang digunakan merupakan data sekunder dan primer, alat analisis menggunakan; Analisa Risiko, Permintaan dan Penawaran, Biaya Sumberdaya Domestik, Policy Analysis Matrix (PAM), Daya Saing Tree Five, dan simulasi kebijakan. Hasil penelitian ini menunjukkan:
a.           Dari sisi usahatani atau penawaran  produksi kopi robusta sejogjanya memperhatikan  factor  jumlah produksi kopi, harga pupuk didalam negeri, kebijakan protektif pemerintah yang kurang mendukung percepatan daya saing, terbukti dengan NPCO dan SRP yang mempunyai nilai lebih rendah dari nilai yang seharusnya, dan juga didukung oleh nilai keunggulan komparatif lebih tinggi dari keunggulan kompetitif.
b.          Dari sisi permintaan, adanya peluang yang sangat besar terhadap permintaan kopi di pasar domestik untuk proses lebih lanjut berupa kopi bubuk, namun kelembagaan pasar yang ada kurang mendukung. Hal ini bisa di kuatkan dari sistem pemasaran yang dilalui oleh petani masih perlu adanya pembenahan saluran pemasaran dan hanya sekitar 1,78 persen yang diolah menjadi bahan siap saji. Permintaan dunia masih terbuka lebar bagi kopi Indonesia terbukti dengan kebutuhan pasar dunia semakin bertambah.
c.           Dari sisi lingkungan dan peluang usahatani kopi robusta yang diusahakan oleh petani sebagaian besar diusahakan secara monokultur dan belum menerapkan kultur teknis yang sesuai dengan anjuran dari Pusat Penelitian kopi dan kakao, kesadaran petani akan benih unggul bermutu masih rendah, sebagian tanaman kopi sudah tua/rusak, terserangnya hanya penyakit. Selain itu produk kopi baru diolah pada tingkat primer yaitu berbentuk biji kopi kering, sedangkan pengolahan produk hilirnya belum banyak dilakukan. Padahal produk olahan tersebut memberikan nilai tambah yang cukup tinggi dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu tanaman naungan yang mempunyai nilai ekonomi belum banyak dilakukan oleh petani.
d.          Dari sisi kebijakan internasional dan kebijakan domestik dapat disimpulkan bahwa kebijakan domestik kurang adanya dukungan dari pihak pemerintah dilihat dari koefisien DRC lebih baik dari PCR, koefisien NPCO dan SRP kurang mendukung percepatan daya saing apabila dibandingkan dengan harga yang sesungguhnya, namun dari koefisien NPCI kebijakan pemerintah memberikan dukungan yang berarti demi percepatan daya saing.
e.           Dari sisi social dapat di lihat dari perilaku petani netral risiko mendominasi di tiga wilayah penelitian, hal ini mengisyaratkan bahwa  petani kopi secara moral masih berpola pikir safety first sehingga menjadikannya terlalu berhati-hati, sehingga productivitas juga belum mencapai optimal.

   Kata kunci : kebijakan dan daya saing
         
SUMMARY
The Impacts of Government Policies and Competitiveness Acceleration Strategy on Robusta Coffee Bean Agribusiness

By : Soetriono
 Jember University

The research aimed to study, to predict, and to formulate the competitiveness of Robusta coffee bean commodity so that the harmonization in the efforts to overcome problems related various gaps either in production aspects, input-output demand, agro-industry, and government policies in the future could be obtained. The methodology used consisted of; using basic sector in determining a sample of regions (i.e. East Java Province (Kabupaten Malang and Jember) and Lampung Province (Kabupaten Tanggamus); using primary and secondary data; the analysis data method used were: Risk Analysis, Supply and Demand, Domestic Resource Cost, Policy Analysis Matrix (PAM), Tree Five Competitiveness, and policy simulation. The result of the research shows that:
a.       From the side of farming business or the supply, the production of Robusta coffee bean should consider some factors, such as the number of coffee bean production, the price of fertilizer in the country, the government policy of protection that is not support the competitiveness acceleration. This is based on the value of NPCO and SRP that is lower than the world price and the value of comparative advantage is higher than the value of competitive advantage.
b.      From the demand perspective, there is a significant opportunity in coffee post harvest processing (i.e. coffee powder) demand in the domestic market but the existing market institution has not provided a proper support. This can be improved by designing the marketing system or channeling system and by increasing the post harvest processing (i.e. about only 1.78 % of coffee beans were processed to a ready to consume product. Also, the world demand is widely open for Indonesian coffee bean since the world market needs is increasing.
c.       Based on the environment and farming business perspective, the coffee bean produced by smallholders is considered as monoculture and has not yet applied technical culture suggested by Indonesia Coffee and Cocoa Research Institute, the awareness of smallholders about genuine seed variety is low, most of coffee tree is very old/damage and infected by plant diseases. Also, coffee commodity is processes on the primary level (i.e. dry coffee bean) meanwhile downstream product processing has not yet been conducted significantly. In fact, this further product processing will contribute a significantly high value added and can create a workforce. In addition, the shading tree that has a high economic value has not been used by the smallholders.
d.      From the perspective of international policy and domestic policy, it is concluded that the government support in the domestic policy is lacking (shown by the coefficient of DRC is better than PCR, the coefficient of NPCO and SRP is not supporting the competitiveness acceleration if they are compared to the world price. But, the coefficient of NPCI of the government policy has contributed a significant support for the competitiveness acceleration.
e.    From the social perspective, it is shown that the smallholders is dominantly risk neutral in the three selected areas. This indicates that the coffee bean smallholders are morally still using a safety first way of thinking. In turn, this makes them too prudent so that their productivity has not yet reached the optimal level.

     Key word: policies and Competitiveness

Ringkasan Penelitian Kedelai

SUMMARY
(Strategy to Alleviate the Decline Soybean Farmers through Downstream-Upstream Blue Print, Modeling and Government Policy, 2009
By :  Soetriono

Soybean commodity plays an important role in economy since most of the commodities (95%) are used for agro-industry and 96% of them is raw materials for tofu and tempe agro-industry. Domestic production has not been able to fulfill internal need of it, where 55% is still fulfilled by import. This research is intended to identify the competitiveness of on farm agribusiness of soybean by institutional input and policy simulation; the relation between upstream and downstream system activities of soybean agribusiness; model and strategy to eliminating soybean farmers’ powerlessness
The research area was determined purposively considering that Paleran Village was a village that had Prime Farm program and Curah Lele village was the centre village of soybean marked with Prime Farm program. Samples were taken by applying by simple random sampling.
            Analysis method by using competitive and comparative advantages (competitiveness) applied Policy Analysis Matrix (PAM), policy scenario, modeling and strategy to eliminating soybean farmers’ powerlessness by Force Field Analysis (FFA); the research results showed:
1.            Private profitability and social profitability of on-farm agribusiness of soybean in research area had efficiency and comparative and competitive advantages, meaning that on-farm agribusiness of soybean had competitiveness.
2.            Government policy toward output tradable provided negative effect on on-farm agribusiness of soybean indicated by NPCO value lower than one. Government policy toward input tradable gave positive effect on on-farm agribusiness of soybean performed by NPCI value lower than one. Collectively, government policy on input output tradable and input non tradable affected negatively on on-farm agribusiness of soybean shown by negative NPT and SRP values and PC value lower than one.
3.            The change of government policy toward import tariff of soybean and exchange rate of rupiah still remained giving positive effects on efficiency and competitiveness of soybean on-farm agribusiness, while the change of government policy on output tradable affected negatively on on-farm agribusiness of soybean. The change of government policy on input tradable still provided positive effects on on-farm agribusiness of soybean. The change of government in input output tradable and input non tradable remained negative, while the effect of the change of government policy on input and output tradable gave positive effects together on on-farm agribusiness.
4.            On-farm agribusiness of soybean under Prime Farm Program had stronger competitiveness compared to non-prime farm program though held in central area..
5.            In order to overcome powerlessness of soybean farmers, some efforts on the basis of FFA analysis from upstream to downstream sub-systems are necessarily undertaken, they are:
a.       Sub-system of up-stream agribusiness; (1) to intensify extension on the field of knowledge and technology; (2) the best quality seeds development and (3) improvement on distribution channel of production tools.
b.      Sub-system of on-farm agribusiness; organic fertilizer development and intensive supervision by related departments (Agriculture Department), especially on pest and disease control.
c.       Sub-system of down-stream agribusiness; it is necessary to establish farmer’s association, soybean industry and to develop modern processing technology such as ketchup and soybean milk.
d.      Sub-system of marketing is needed to organize market that is related to major agribusiness market.
e.       Sub-system of supporting services; it is important to develop market at village level, to establish agribusiness and to optimize extension personnel that all become strong requirements.


Ringakasan Penelitian Tembakau

SUMMARY

Modelling and Strategy of Competitiveness  Na Oogst Besuki Tobacco in East Java, 
Evita Soliha Hani, Soetriono, Hadi Paramu, 2010

The first year research was mainly focused on agribusiness data related to government policy, that is policies on input and output, and identifying the tobacco Na-Oogst comparative advantage and competitive advantage in the research area. In addition, this research in this period was aimed at knowing profitability and feasibility of tobacco Na-Oogst agribusiness in farmer level. 
The research area was located at center of the robusta coffee agribusiness in East Java, i.e. Ambulu SubDistrick and Rambupuji Sub Districk in Jember Regency. These areas have a high production level and productivity rate. The research used a simple random sampling to determine the research sample.
Comparative advantage was measured by Social Domestic Resource Cost. Competitive Advantage was measured by actual Domestic Resource Cost. Policy Analysis Matrix (PAM) was used to analyse the impact of government policy. The result showed that:
  1. The Na-Oogst Tobacco Agribusiness is feasible. Beside that, It has both of comparative and competitive advantage. It is shown by value of KBSD social dan KBSD privat ;  
  2. The price policy of government for Na-Oogst tobacco is not give contribution an incentive on the development of further agroindustry. It is shown by Effective Protection Coefficient (EPC) and Profitability Coefficient (PC) that is less than one (< 1) as well as a negative Subsidy Ratio to Producers (SRP).

Senin, 14 Februari 2011

ANALISIS KELAYAKAN AGRIBISNIS


ANALISIS KELAYAKAN AGRIBISNIS

PENGAMPU : SOETRIONO, JANI JANUAR, ATIK KUSMIATI, YULIAN ADAM


INVESTASI AGRIBISNIS
• PENDAHULUAN (pentingnya perencanaan, kreteria analisis, sumber-2 dana investasi, kerangka analisis investasi) Pertemuan 1
• ANALISA EKONOMIS DAN ANALISIS FINANSIAL (perbedaan penekanan dalam analisis dan faktor-2 yang perlu diperhatikan) Pertemuan 2
• PROYEK INVESTASI (pendahuluan, marginal effisiency of capital/ MEC, keuntungan absulut, ranking by inspection dan pp) Pertemuan 3
• PERHITUNGAN BUNGA DAN NILAI UANG (perhitungan bunga biasa, majemuk, anuitas biasa dan komplek) Pertemuan 4

METODE PENYUSUTAN INVESTASI AGRIBISNIS
* METODE PENYUSUTAN : rata-rata (garis lurus, jam kerja mesin, jumlah produksi) bunga majemuk (anuitas, penyisihan dana) penurunan( jumlah angka tahunan, persentasi) dan metode penyusutan gabungan (Pertemuan 5)

METODE PENGUKURAN RAMALAN
CARA PERAMALAN
* TREND LINEAR DAN NON LINEAR
* REGRESI DAN KORELASI
* MATHEMATICAL EXPECTATION (Pertemuan 6,7)             

SISMATIKA KELAYAKAN INVESTASI (Pertemuan 8)
* PENDAHULUAN
* ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
* ASPEK TEKNIS DAN TEKNOLOGI
* ASPEK MANAJEMEN DAN ORGANISASI
* ASPEK EKONOMI DAN KEUANGAN
* KESIMPULAN DAN REKOMNDASI

ASPEK  PASAR DAN PEMASARAN (Pertemuan 9)
* DAYA SERAP PASAR (Permintaan, Konsumsi Per Kapita, Jumlah Konsumsi Nyata)
* DARI SEGI PENAWARAN
* MARKET SPACE DAN MARKET SHARE
* KONDISI PASAR (Rantai pasar, penetapan harga dalam menentukan biaya produksi dan anggaran biaya)
* SISTEM PEMBAYARAN DAN BIAYA PEMASARAN
* PROGRAM PEMASARAN
* FAKTOR PERSAINGAN

ASPEK TEKNIS DAN MANAJEMEN OPERASI  (Pertemuan 10)
* ASPEK PRODUKSI
* LUAS PRODUKSI
* PROSES PRODUKSI
* MANAJEMEN OPERASI

ASPEK EKONOMI DAN KEUNGAN (Pertemuan 11)
* DANA INVESTASI
* MODAL KERJA
* SUMBER PEMBIAYAAN
* PROSES PERPUTARAN UANG
* ASAS PEMBELANJAAN
* TITIK PULANG POKOK
* PERKIRAAN PROFIT

PEMILIHAN PROYEK DENGAN KRETERIA INVESTASI (Pertemuan 12)
* MUTUALLY EXCLUSIVE ALTERNATIF PROJECT
* CROS OVER DISCOUNT RATE ANALYSIS

ANALISIS KRETERIA INVESTASI dan EVALUASI PROYEK (Pertemuan 13)
  • PERHITUNGAN KRETERIA INVESTASI 
  • NPV, IRR, BC RATIO, PROFITABILTY RATIO 
  • ANALISIS PP DAN BREAK EVEN POINT 
* PERHITUNGAN BENEFIT
* MANFAAT PROYEK LANGSUNG, TIDAK LANGSUNG DAN TIDAK KENTARA
* JENIS BIAYA
* KEPUTUSAN PROYEK


METODE RESIKO AGRIBISNIS (Pertemuan 14)

INVESTASI DALAM BIDANG  AGRIBISNIS (FINANSIAL DAN EKONOMI) (Pertemuan 15,16)